EMMIP 2023 : SMANCIK42
TIL I DIE
Back Story :
SMAN 1 Cikalong Wetan bukan merupakan
tujuan utama saya, atau bahkan tidak ada sama sekali dalam rencana perjalanan
hidup seorang Muhammad Miftah Fauzy. Waktu itu, sebelum saya masuk SMAN, sempat
terjadi konflik dalam keluarga yang membuat saya enggan berada di rumah dan
ingin melanjutkan jenjang pendidikan SMA di pesantren saja, karena saya sudah
terlalu betah dengan semuanya. Namun ibu saya berkata lain.
Di detik-detik terakhir penutupan PPDB
gelombang kedua, saya dijemput di kobong oleh orang tua saya untuk pulang.
Mereka berkata, “Ade sekolah di Cikalong aja, ya. Mamah enggak ada temen sama
enggak mau lebih jauh dari Ade.” Itulah kata-kata yang saya ingat dan membuat
saya sedikit luluh, mengingat kehidupan pesantren yang melelahkan dan sering
menimbulkan rasa rindu yang mendalam terhadap keluarga ataupun rumah.
Pada saat itu saya berpikir, ya udah,
enggak apa-apa sih, coba aja dulu. Lagi pula enak juga hidup di rumah lagi,
bisa dimanja (karena Fauzy anak bungsu), dan tidak perlu memikirkan banyak hal.
Itulah yang terlintas di pikiran saya saat itu, jadi saya tidak terlalu banyak
berdebat perihal keputusan mamah saya.
Foto saya ketika daftar ke SMAN, gang yang awalnya sangat asing
bagiku.
Pra MPLS
Tibalah masa sebelum MPLS, di mana pada
momen ini tidak terlalu banyak hal yang terjadi menurutku. Aku merasa
terkucilkan saat pertama kali datang ke sekolah. Tidak ada orang yang kukenal,
kecuali beberapa teman SD perempuan yang sempat menyapaku ketika pulang
Pra-MPLS. Sangat asing rasanya—bertahun-tahun tidak pernah pulang ke daerah
sendiri. Ketika orang-orang datang bersama teman-temannya dari masa SMP dan
MTS, saya hanya sendiri dan merasa sepi karena menjadi satu-satunya alumni
sekolah yang berbeda.
Namun hal ini bukan masalah besar, karena
dulu ketika saya pertama kali masuk pesantren juga seperti itu dan akhirnya
memiliki banyak sekali teman. Saya percaya di SMAN juga akan seperti itu. Tapi
hal ini cukup menyebalkan, karena waktu terasa sangat lama ketika dikelilingi
oleh orang-orang baru. Namun saya bersyukur mendapatkan teteh dan akang
pendamping yang cukup welcome.
Saya masih ingat ketika itu saya kebagian
ruangan 1. Di ruangan itu, orang-orangnya aneh sih menurut saya, dan
sangat-sangat tidak sefrekuensi dengan saya, entahlah walaupun baru pertama
kali bertemu. Saya merasa kurang nyaman berada di kelas tersebut.
Foto yang saya ambil ketika PRA MPLS saya duduk sendiri dan
tentunya sangat amat merasa asing dan saya masih ingat di moment ini saya
mengirimkan pap kepada teman saya yang di SMP.
Periode MPLS
Dan yap, tidak terasa tibalah masa MPLS —
masa di mana semuanya terasa sangat membosankan dan menyebalkan bagi saya, yang
pada saat itu belum memiliki banyak teman. Saya masih ingat ketika di
penghujung Pra-MPLS terjadi perubahan kelas, di mana yang tadinya saya berada
di ruang 1 kini menjadi kelas X-G. Saya juga masih ingat momen ketika saya
mencari nama saya di setiap depan kelas untuk memastikan saya berada di kelas
yang mana setelah diacak kembali.
Saya mengikuti MPLS dengan sangat
melelahkan; energi saya terkuras habis karena masalah awal tadi, yaitu
orang-orang lebih memilih bersama teman lamanya dari sekolah lama seperti SMP
dan MTS dibandingkan berkenalan dengan orang baru. Hal itu membuat saya sulit
mendapatkan teman.
Saya tidak terlalu mengingat banyak hal
di masa MPLS karena saya menyalakan mode “jalankan lalu lupakan”. Namun yang
masih saya ingat adalah momen di mana yel-yel terasa membosankan dan juga
pemateri yang tidak kunjung berhenti. Selain itu, ada beberapa momen yang saya
ingat ketika beberapa kali saya mendapat gangguan berupa bully-an sepele,
seperti ketika saya berjalan sendiri dan berpapasan dengan beberapa orang yang
bergerombol; mereka berkata, “Kamana wibu!”
Hmm… saya pun berhenti dan berkata, “Naon
ai sia, gj* be***!”* dan mereka pun terdiam lalu pergi. Mereka pikir saya
orangnya culun, pendiam, dan mudah dipengaruhi. Oh, tentu tidak dong… walaupun
ya kalau culun sih iya, kalau dilihat-lihat mah.
Di masa MPLS belum terjadi banyak progres
positif, terutama dalam pertemanan. Orang-orang yang pertama kali melihat saya
pasti menganggap saya culun, pendiam, dan sangat agamis. Tidak salah juga sih,
mungkin karena mereka melihat twibbon saya yang seperti ini:
Setelah hampir kurang lebih seminggu,
masa MPLS pun akan selesai. Di akhir-akhir masa MPLS, pada pematerian terakhir
yang dibahas oleh kurikulum sekolah, mereka menjelaskan bagaimana fase-fase
pembelajaran yang ada di SMAN selama 3 tahun berjalan. Saya tidak terlalu
banyak memperhatikan, namun hal yang membuat saya tertarik adalah pembelajaran
proyek, yang saat itu sistemnya belum saya ketahui.
Di sore hari yang terik, dilaksanakanlah
penutupan MPLS awal—yang sebenarnya sudah saya lupa karena saya merasa muak dan
BT akibat cuaca yang sangat terik. Namun yang masih saya sedikit ingat adalah
momen pertama kali foto bersama kelas X-G, yang nantinya akan menyimpan banyak
sekali cerita di dalam kelas tersebut.
🤍🤍🤍
Dan berakhirlah masa yang cukup baik di banding masa masa yang
terbaik selanjutnya di kelas G.
Akhirnya, setelah MPLS yang melelahkan,
saya resmi menjadi bagian dari siswa SMAN 1 Cikalongwetan sebagai anak kelas
X-G. Di masa-masa awal putih abu ini, banyak sekali momen yang terjadi dan
beberapa sangat memorable bagi saya. Salah satunya adalah pengalaman baru
terkait pembelajaran di SMAN yang sangat berbeda jauh dibandingkan sekolah saya
sebelumnya. Banyak sekali tugas berkelompok yang cukup menjadi beban karena
saya sendiri saja yang mengerjakan. Namun hal ini setimpal dengan apa yang saya
dapat, yaitu bisa berkenalan dan berinteraksi dengan teman-teman baru di kelas
saya. Karena dari kerja kelompok inilah salah satu cara saya untuk berkenalan
dengan orang lain. Walaupun saya masih merasa sangat asing, itu merupakan
progres yang baik bagi saya.
Namun kerinduan mendalam terhadap
masa-masa pesantren masih menghantui saya hingga beberapa bulan ke depan. Saya
merasa kehidupan di pesantren dan di SMAN sangat berbeda jauh. Ketika dulu saya
di pesantren, saya merupakan orang yang cukup banyak dikenal dan memiliki
banyak kenalan mulai dari adik kelas 7, 8, hingga kakak kelas 10, 11, dan
12—apalagi dengan teman seangkatan, jangan ditanya. Setiap kali saya keluar
dari kobong, pasti selalu ada yang menyapa dan mengajak saya berbincang.
Sungguh nyaman sekali rasanya. Berbeda dengan ketika awal masuk SMAN, di mana
saya harus mulai dari nol dan merasa sendirian.
Namun hal tersebut tidak membuat saya
menyerah. Saya tetap beradaptasi dan alhamdulillah hanya dalam beberapa minggu
atau bulan, saya sudah berteman hampir dengan seluruh teman di kelas.
GOLDEN MEMORY
Awal mula terbentuknya tim e-sport kelas
G sekaligus teman-teman terbaik saya ketika di SMAN ini bermula dari kenyataan
bahwa kami berlima memiliki hobi yang sama, yaitu bermain game. Jadi tidak
butuh waktu lama bagi kami semua untuk bisa dekat dan menjadi sahabat. Banyak
waktu kami habiskan bersama di kelas, seperti mabar, menginap bersama, atau
sekadar mengobrol—baik yang ringan maupun yang berat.
Dan di tahun pertama PORAK, tim yang baru
dibentuk beberapa bulan saja berhasil menjadi runner-up dan hampir mengalahkan
juara bertahan, yaitu kelas XI-D pada saat itu. Hal ini merupakan awal yang
sangat baik, dan dari momen itu juga saya serta teman-teman mulai dikenal oleh
kelas-kelas lain.
Memang sebelum adanya PORAK, tim e-sport
kelas kami sudah dikenal beberapa kelas lain karena fun match atau spar yang
sering kami lakukan—dan kami selalu menang. Hal tersebut terbukti ketika PORAK,
tim GARUDA berhasil meraih juara kedua dengan mudah tanpa adanya halangan yang
berarti.
Dan tentunya saya dan teman-teman kelas
yang lain menjadi sangat kompak di semester pertama kami di SMAN ini, dan
berhasil meraih juara umum pada PORAK 2023 berkat kekompakan kelas G. Bahkan
ini adalah juara umum kedua kami setelah event sebelumnya di Bulan Bahasa.
Saya bersyukur bisa berada di kelas yang
hebat ini. Terima kasih, ya Allah, rencana-Mu memang sungguh luar biasa 🤍🤍🤍
Tidak banyak momen yang bisa saya ingat
di kelas X ini, namun ada beberapa kejadian yang membuat saya termotivasi atau
bisa dibilang membakar api semangat saya dalam pembelajaran. Salah satunya
adalah ketika pertama kali presentasi dengan Bu Nia, seorang guru Kimia,
sekaligus presentasi pertama yang ada di kelas. Saya membuat media presentasi
ala kadarnya karena memang baru pertama kali. Ketika saya maju presentasi,
hasilnya sangat kacau, dan di akhir saya menyelipkan kata penutup yang intinya,
“Jika ada kesalahan itu dari saya, dan jika ada kebaikan itu dari Allah.”
Saya pikir pada saat itu presentasi saya
sudah bagus, namun ketika evaluasi saya justru disindir atau dikritik
habis-habisan akibat perkataan penutup itu, dengan berbagai macam kata-kata
yang cukup nyelekit. Saat itu saya tidak menerima dan marah, sehingga saya
menjadi tidak suka kepada beliau. Dulu saya seperti itu, mungkin karena ego
saya masih tinggi dan merasa paling benar.
Namun setelah beberapa saat, saya sadar
bahwa apa yang beliau katakan ternyata benar. Di situlah titik awal saya mulai
berkembang dan belajar bagaimana public speaking yang baik dan benar. Kata-kata
beliau membuat saya membuka mata. Pada akhirnya, ketika beliau pensiun di akhir
kelas X, saya merasa sangat kehilangan. Banyak sekali ilmu yang saya dapat dari
beliau, baik tentang pembelajaran maupun konsep memahami dunia berdasarkan
kacamata agama Islam.
Beliau merupakan guru terbaik dan yang
paling saya sukai pada akhirnya. Entahlah apakah beliau masih mengingat saya
atau tidak, namun saya harap beliau selalu sehat dan panjang umur.
Ketika pembelajaran SIKIMBO, saya dan
kelompok saya berhasil membuat prototipe panel surya yang bisa mengecas
handphone dengan sinar matahari. Proyek tersebut diapresiasi oleh beliau dan
juga Pak Suhe yang pada saat itu menjadi Kepala Sekolah SMAN 1 Cikalongwetan.
Hal yang membuat saya bangga adalah saya berhasil mempresentasikan prototipe
tersebut dengan sangat baik di hadapan beliau.
Fotbar pertama saya dengan guru terbaik
dan favorit saya hingga saat ini, beliau bernama Pak Nychken, guru Bahasa
Indonesia yang membersamai kelas G dari masih imut hingga amit. Banyak sekali
momen bersama beliau tentunya, namun yang masih saya ingat adalah dulu saya
sempat merasa kurang cocok dengan beliau karena ada satu momen awal sekali yang
membuat saya sakit hati—walaupun saya sudah lupa karena apa, pokoknya ada.
Namun ternyata Pak Nychken adalah salah satu guru yang saya anggap sebagai
sosok pengganti ayah, mungkin? Karena begitu banyak momen dan ilmu yang beliau
berikan kepada saya.
Beliau juga guru yang paling ahli berbaur
dengan Gen Z. Banyak hal yang beliau tahu, yang jarang diketahui oleh guru
lain, seperti tontonan anak muda, apa yang sedang viral—pasti Pak Nychken
selalu tahu dan selalu update dengan topik pembicaraan apa pun. Hal itu membuat
suasana kelas menjadi hangat oleh perbincangan kami. Mungkin karena beliau
multitasking, mudah bersosialisasi dengan banyak orang, dan juga seorang
influencer hebat.
Yang paling menonjol dari beliau tentu
saja adalah cara mengajarnya. Ketika beliau mengajar di kelas, ada seribu cara
bagi beliau untuk menyampaikan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan sempurna.
Beliau adalah guru yang sangat modern menurut saya.
Sehat selalu, Pak Nychken. Panjang umur.
Rezekinya makin lancar dari segala arah, dan semoga keluarga Bapak selalu
sehat, bahagia, serta diberkahi selamanya. Sungguh beruntung anak-anak dan
istri Bapak memiliki seorang ayah yang hebat seperti Bapak. Salam untuk Klausa
dan Nagara, semoga mereka tumbuh menjadi anak yang hebat seperti ayahnya.
Saya, Miftah Fauzy, sangat bersyukur
menjadi murid Bapak dan sayang kepadamu, Pak Nik.
Hanya itu saja yang paling melekat di
pikiran saya ketika membuat cerita ini yang berlatar waktu kelas 10. Sisanya
mungkin banyak ingatan tentang pembelajaran kelompok dan beberapa momen
kebersamaan bersama kelas G. Adapun untuk momen terakhir di kelas 10 yaitu
bermain bersama Pak Aldi ke Yogya.
Saya dan kelima teman saya, serta satu
lagi yaitu Pak Aldi—wali kelas yang sangat luar biasa bagi kelas G. Berkat
arahan beliau juga, kelas G bisa menjadi kelas terbaik pada saat itu, karena
wali kelas paling aktif ya memang Pak Aldi. Ketika ke Yogya naik kereta, beliau
banyak berbagi ilmu dan pengalaman hidupnya. Memang tidak diragukan lagi
pengalaman seorang traveler yang kemudian menjadi guru; cara berpikir beliau
bagi siswa itu terasa seperti sedang melihat masa depan.
Dulu mungkin Pak Aldi adalah seorang guru
les bimbel, sehingga beliau banyak tahu tentang gambaran masa depan setelah
SMA. Seru sekali rasanya, pengalaman berharga dengan low budget tapi bisa
jalan-jalan ke banyak tempat selama 3 hari 2 malam. Tidak heran jika Pak Aldi
mendapat julukan Aldi Travel.
Namun sayangnya, pada saat itu yang pergi
ke Yogya hanya ber-enam karena sisanya tidak diizinkan oleh orang tuanya,
mengingat pada waktu itu ada kasus kecelakaan study tour yang membuat orang tua
siswa cemas.
Sebagai gantinya, di libur akhir semester
kelas X-G pergi ke vila bersama untuk menghabiskan waktu liburan. Kelas G yang
kompak menjadi semakin kompak dengan adanya agenda liburan ini.
Lagi-lagi pada liburan terakhir kali ini,
sang maestro yang menyusun jalannya liburan adalah Bapak Aldi Cahyadi. Berkat
beliau, uang kami yang pas-pasan dapat dimaksimalkan dengan sangat baik.
Beruntung sekali kelas G—yang anak-anaknya berprestasi dan memiliki moral
sosial tinggi—dipasangkan dengan wali kelas seperti Pak Aldi.
Namun sayang sekali, ternyata itu adalah
momen terakhir kelas G bersama Pak Aldi, karena di kelas 11 beliau sudah tidak
menjadi wali kelas kami lagi dan digantikan oleh Bu Lintank, seorang guru mata
pelajaran Sejarah di kelas 10.
Namun perjalanan saya dan kelas G belum
selesai sampai di situ, karena masih ada masa-masa sebagai “anak tengah”, yaitu
saat kami memasuki kelas 11.
ANAK TENGAH : KELAS XI
Satu kata untuk kelas XI: Cukup.
Karena di masa kelas XI ini adalah masa
yang melelahkan, dihantam banyak sekali tugas, dan tentunya adanya peminatan
membuat momen kebersamaan kelas G menjadi berkurang.
Untuk saya sendiri, di kelas XI saya
fokus terhadap akademik saya untuk mempertahankan peringkat pertama saya
tentunya, dan juga mulai membuat jalan menuju masa depan nanti setelah lulus SM
Inilah foto yang pertama saya ambil
ketika peminatan kelas XI. Sangat pusing sekali, bukan? Untuk saya sendiri, ini
adalah mata pelajaran yang paling tidak saya sukai dan paling tidak saya bisa.
Sejak dulu memang saya memiliki kelebihan di mata pelajaran lain, tetapi untuk
mapel yang satu ini saya sangat lemah. Namun, terpaksa saya harus mengambilnya
karena membutuhkan nilai rapor yang rencananya digunakan untuk daftar kuliah
jalur undangan jurusan IT, yang membutuhkan nilai matematika tingkat lanjut.
Jadi saya ambil saja. Untuk pilihan lain,
ada Ekonomi karena saya dari keluarga pedagang dan tertarik juga tentunya. Yang
ketiga ada Geografi karena mata pelajaran yang saya sukai dan gurunya adalah
Pak Aldi. Terakhir adalah Sosiologi, pelajaran yang mempelajari ilmu sosial;
saya tertarik karena Pak Isur.
Hari-hari awal di kelas XI dijalani
dengan kegiatan padat, terutama tugas dari mapel Ekonomi yang sangat banyak
diberikan oleh Pak Wandi, lalu tugas kelompok Geografi yang panjang sekali
alurnya, dan Matematika yang sulit akibat ketidakpahaman saya. Namun, untungnya
Sosiologi 4 menjadi tempat peristirahatan terbaik di hari peminatan karena Pak
Iwan selalu datang terlambat dan jarang memberikan tugas. Terima kasih, Pak
Iwan, telah memberi saya waktu untuk bernapas.
Di luar kehidupan peminatan yang
melelahkan, hari Senin, Selasa, dan Jumat adalah hari yang saya dan teman-teman
lainnya tunggu-tunggu karena di hari-hari tersebutlah kelas G berkumpul kembali
menjadi satu dan menghabiskan waktu bersama. Di sela-sela banyaknya tugas dari
mapel kolaborasi, hal ini tidak membuat kebersamaan kelas G hilang, justru
kelas G semakin kompak.
Ada yang bilang masa-masa kelas XI adalah
masa yang paling indah. Menurut saya, itu ada benarnya juga karena saya berada
di kelas G. Walaupun di kelas XI rasa capek sudah bukan lagi hal yang aneh,
kebersamaannya tetap terasa.
Guru-guru baru di kelas XI juga sangat
baik dan memuaskan, kok. Seperti Bu Siti, guru Matematika yang awalnya kami
kira akan galak karena beliau adalah guru BK, tetapi ternyata orangnya asik dan
humoris. Lalu Bu Citra, guru Bahasa Inggris yang menggantikan Pak Denis, juga
tidak kalah baik. Gaya mengajar beliau santai sehingga interaksi guru dan siswa
menjadi lebih seru.
Kemudian ada Pak Jaman yang sangat baik
ketika mengajar karena tugas yang beliau beri sedikit, tidak seperti Pak Royan,
hehe. Dan Pak Rizky, yang pada saat itu guru baru dan mengajar mata pelajaran
Seni Musik—awalnya saya merasa heran dengan cara mengajar beliau yang judes dan
seolah seperti guru lama. Tapi lama-kelamaan, Pak Rizky justru memiliki ciri
khas sendiri dalam mengajar. Saya kagum kepadanya; beliau memiliki banyak
pengalaman, tidak kalah dari guru-guru lain terutama di industri musik. Beliau sangat
hebat, pernah manggung di berbagai macam kota—keren.
Tibalah saat proyek dimulai. Kali ini, di
kelas XI semester awal, proyek yang dilaksanakan bertema demokrasi. Dan,
seperti biasa, anak-anak kelas G menumbalkan saya sebagai ketua partai untuk
simulasi pemilu presiden dan wakil presiden. Ini menjadi salah satu pengalaman
melelahkan lainnya bagi saya, karena harus mengatur satu kelas G yang tentu
saja sulit diatur—kecuali kalau saya sudah berteriak, barulah mereka
mendengarkan.
Tidak sampai di situ, dalam proses
pemilihan umum, kelas G ternyata gagal mencapai target suara, sehingga kami
harus berkoalisi dengan kelas lain untuk mengusung presiden dan wakil presiden.
Ini menjadi beban kedua bagi saya. Saya harus mengatur hampir empat kelas
sekaligus pada saat itu. Tentu sangat sulit, karena saya tidak terlalu mengenal
banyak orang selain teman-teman kelas saya sendiri, sehingga awalnya saya cukup
kikuk.
Namun akhirnya semuanya berjalan lancar.
Setelah perdebatan panjang dengan kelas-kelas lain, seluruh koalisi menyepakati
bahwa saya menjadi Wakil Presiden, bersama Bayu dari kelas F sebagai Presiden.
Sebenarnya saya cukup terpaksa, karena ada pihak dari koalisi yang memiliki
suara banyak tetapi tidak setuju saya naik menjadi wapres. Namun tidak sedikit
juga yang mendukung saya, sehingga akhirnya posisi itu bisa saya ambil.
Proyek ini menurut saya adalah salah satu
yang paling berat. Banyak sekali properti, persiapan, dan penampilan yang harus
dilakukan, terutama saat kampanye puncak. Untungnya, semuanya berjalan lancar.
Semua kelas dapat berkolaborasi dengan hebat dan menampilkan yang terbaik dari
masing-masing kelas untuk digabungkan menjadi salah satu koalisi terbaik pada
saat itu.
Tidak kalah hebat, saya selaku wapres
juga menampilkan debat yang ciamik pada saat debat antar pasangan calon
presiden. Saya berhasil keluar sebagai juara dua debat, hanya selisih beberapa
poin dari pasangan lain. Menurut saya, hal ini terjadi karena ada sedikit
kesalahan dari Bayu. Ia sempat berbicara agak ngalor-ngidul ketika menjelaskan
hukuman untuk pelaku korupsi. Dengan sembrono, ia mengatakan bahwa keluarga
koruptor harus dibunuh, dan membuat orasi yang menurut saya cukup aneh. Namun
di luar itu, semuanya berjalan baik dan cukup memuaskan.
Pengalaman ini juga menjadi sesuatu yang
baru bagi saya. Saya melatih public speaking di depan banyak orang, menyiapkan
materi semalaman, dan akhirnya mendapatkan hasil yang memuaskan berkat kerja
sama seluruh kelas. Tidak mudah menyatukan empat kelas yang memiliki karakter
manusia berbeda-beda dalam satu kepala, tetapi saya membuktikan bahwa saya bisa
jika saya mau. Karena itulah sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Ini dia potret saya di kertas pemilu.
Ganteng sih, lumayan. Walaupun pada akhirnya kami harus puas dengan suara
terbanyak kedua, kalah dari Sandi dan Keyza yang saat itu memang lebih terkenal
dibandingkan saya. Namun lewat momen ini, saya bisa menunjukkan kepada seluruh
SMANCIK bahwa Emip itu ada, dan bukan sekadar murid biasa.
Selain aktif di dunia akademik, saya juga
mencoba kembali aktif di intrakurikuler, yaitu OSIS. Sebenarnya sejak kelas X
saya sudah menjadi bagian dari OSIS dan cukup berpotensi jika saja saya
benar-benar serius. Namun kenyataannya, saya setengah hati dan akhirnya menjadi
“OSIS baragajul” yang hanya rapat dua kali dalam satu semester.
Meski begitu, setiap tahun saya tetap
menyempatkan diri menjadi panitia dalam sebuah perlombaan. Lalu di kelas XI
saya mengikuti kegiatan FOBB, dan itu menjadi pengalaman yang cukup
menyenangkan. Dari kegiatan ini, saya bisa menambah relasi dengan adik kelas—padahal
sebelumnya saya sama sekali tidak punya kenalan dari angkatan bawah. Setelah
FOBB, ada satu dua orang yang akhirnya menjadi teman saya.
Di kelas XI, para lanang G juga banyak
menciptakan momen kebersamaan, terutama dari kegiatan futsal yang rutin
diadakan setiap bulan, sekitar 4–5 kali. Bisa dibilang, laki-laki di kelas G
memiliki kelebihan masing-masing sesuai dengan hobi mereka. Ada yang jago
menyanyi, mancing, punya skill futsal yang keren, berbadan atletis, jago main
game, paham otomotif, dan banyak lagi.
Hal ini membuat kami saling melengkapi
satu sama lain. Jadi, kalau ingin menanyakan sesuatu, tidak perlu kesusahan
karena pasti ada salah satu dari kami yang tahu. Kami juga semakin solid ketika
sudah berkumpul—tolong-menolong di antara kami benar-benar sangat erat.
Di Porak 2024 ini, kelas G tidak terlalu
banyak tampil karena banyak lomba yang kalah di awal, sehingga kelas G gagal
meraih gelar juara umum kembali. Namun, cabang esport seperti biasa
menyumbangkan podium untuk kelas G. Dengan orang yang sama, kelas G berhasil
finis di posisi ketiga setelah kembali kalah untuk kedua kalinya dari kelas
XII-D saat bertemu di semifinal. Kekalahan ini terasa sangat pahit karena
tujuan kami adalah membuktikan bahwa kami lebih baik dari mereka, namun
ternyata gagal lagi. Itulah kesempatan terakhir kami untuk mengalahkan barudak
sabubukna, karena tahun berikutnya mereka sudah lulus.
Di esport tahun ini, pertandingan kami
sebenarnya cukup lancar dan mudah. Namun, di beberapa match ada kelas XII yang
sedikit nyolot atau panas akibat di-taunting oleh supporter kelas XIG. Hal itu
membuat angkatan XII sangat kesal dan menunggu kekalahan kami di semifinal.
Habis-habisan kami dihina saat itu—cukup tragis memang.
Setelah kalah dari XII-D, kami harus
melanjutkan pertandingan melawan kelas XI-E untuk memperebutkan juara 3. Sejak
awal saya memang tidak terlalu suka dengan kelas E karena mereka terkesan
meremehkan, padahal kami sudah berusaha respect. Kekalahan di semifinal pun
kami lampiaskan kepada kelas E—habis-habisan.
Match pertama, kami menang dan masih
santai. Namun di match kedua kami sempat kalah comeback, dan di situlah mereka
memprovokasi. Fauzi dari kelas E naik ke meja dan berteriak-teriak. Saat itu
saya dan teman-teman menjadi emosi, tensi permainan meningkat. Yang awalnya
kami santai, akhirnya ikut terpancing. Saya pun ikut memprovokasi di match 3
dan 4, sekaligus menutup kemenangan untuk kelas XIG dengan skor akhir 3–1.
Saya masih ingat muka-muka mereka yang
sedih akibat kalah. Puas sekali rasanya bisa mengolok-ngolok mereka dengan
panggilan “EL LIWET”, karena di sela match supporter perempuan kelas E
berteriak bahwa jika menang mereka akan ngaliwet. Namun ternyata mereka kalah,
dan di akhir saya berteriak,
“TEU JADI ATUH EYY NGALIWET TEH!”
Di situ saya amat sangat-sangat puas
karena berhasil membalas kesombongan mereka.
Berakhirlah cerita Porak di kelas XI.
Tidak terlalu menarik memang, karena kelas G pada Porak saat itu adalah kelas G
yang bermalas-malasan. Tidak ada dorongan dari wali kelas, cukup sedih rasanya.
Ketika kelas X semua terarah dan ada yang membimbing, kini di kelas XI kami
seperti hilang arah—mungkin karena kesibukan wali kelasnya. Entahlah.
Hal ini membuat yang lain ikut
bermalas-malasan: ada yang tidak datang lomba, ada yang sengaja agar
didiskualifikasi. Bisa dibilang, di kelas XI awal ini kami merasa seperti tidak
memiliki wali kelas.
AKHIR KELAS XI
Ini adalah foto pembagian sertifikat
peringkat kelas. Alhamdulillah, tujuan saya tercapai: mempertahankan peringkat
1 di kelas. Kebetulan juga, tahun itu pengumuman peringkat kembali
diadakan—biasanya tidak ada, tetapi karena bergantinya kepala sekolah, kebijakan
tersebut diubah.
Awalnya saya pesimis. Saat pembagian
rapor bersama mamah di kelas, saya sudah tidak terlalu berharap banyak. Namun
ternyata, saya mendapat peringkat pertama. Terima kasih, ya Allah. Mamah saya
sangat bangga; di depan orang tua lain, anaknya bisa mendapat peringkat
pertama. Saya pun sangat senang sekali, karena bisa dibilang kelas XI adalah
masa tersulit bagi saya dan keluarga.
Di awal kelas XI, rumah sering terjadi
pertengkaran. Akibatnya, papah saya pergi menghilang entah ke mana selama
hampir satu tahun. Cukup sedih mengetahui beliau tidak memberi kabar, tidak ada
komunikasi sedikit pun, seolah memutus hubungan keluarga. Di masa itu, saya
banyak membantu mamah untuk bangkit kembali—mulai dari membuka kembali toko,
merenovasi, hingga akhirnya bisa beroperasi dengan lancar kembali.
Bukan hal yang mudah, karena saya sering
terkena semprot mamah sendiri. Dari SMP, saya memang sudah kehilangan peran
ayah, jadi sudah tidak asing kalau semua harus di-handle oleh mamah. Mungkin
karena itulah masa SMA saya, terutama kelas XI, terasa cukup suram.
Makanya ketika saya mendapat peringkat
pertama, saya sangat amat senang. Rasanya seperti kemenangan kecil yang berarti
besar di tengah masa-masa sulit itu.
Dan yap, setelah itu waktu terus
berjalan. Kegiatan kembali normal seperti biasanya, dengan pembelajaran
peminatan yang semakin padat tentunya. Mulai ada juga spoiler dari beberapa
guru tentang bagaimana kehidupan sebagai anak kelas XII. Saat itu terdengar
cukup santai karena belum merasakannya, tapi ternyata kenyataannya sangat
“gong” sekali rupanya.
Selain itu, di kelas XI saya juga banyak
bermain game—bukan hanya Mobile Legends, tetapi juga Valorant bersama Whyan
dari kelas XIC dan Arief.
PERJALAN ESPORT ERA KELAS XI
Dan yap, setelah itu waktu terus
berjalan. Kegiatan kembali normal seperti biasanya, dengan pembelajaran
peminatan yang semakin padat tentunya. Mulai ada juga spoiler dari beberapa
guru tentang bagaimana kehidupan sebagai anak kelas XII. Saat itu terdengar
cukup santai karena belum merasakannya, tapi ternyata kenyataannya sangat
“gong” sekali rupanya.
Selain itu, di kelas XI saya juga banyak
bermain game—bukan hanya Mobile Legends, tetapi juga Valorant bersama Whyan
dari kelas XIC dan Arief.
Tapi saya senang kok walaupun kalah. Kang
Nayaka banyak bercerita setelah permainan selesai. Selagi menunggu untuk
pulang—hampir seharian—kita mengobrol, mulai dari cerita horor di sekolah, lalu
cerita cintanya yang kandas, dan yang paling penting adalah bagaimana kehidupan
di kelas XII.
Pada saat itu, Kang Nayaka tinggal
beberapa bulan lagi menuju kelulusan. Mungkin hanya dia satu-satunya kakak
kelas yang sampai saat ini benar-benar saya kenal dan cukup akrab. Selain dia,
tidak ada; selebihnya hanya sebatas tahu dan dikenal tanpa ada interaksi.
STUDY
TOUR TMII
Enggak banyak cerita sih, namun kalau
ditanya tentang ke TMII, pasti jawaban saya adalah seru dan pengen lagi. Dari
dulu saya jarang ikut study tour, bahkan belum pernah, karena saya memang tidak
terlalu suka jalan-jalan. Tapi yang sekarang, ketika SMA, suasananya rame walau
terus dikejar-kejar oleh KDM.
Walaupun tujuannya memang benar untuk
study tour—seperti mengenal kebudayaan suatu daerah dan mengunjungi Museum
PLN—banyak hal menarik yang terjadi di momen ini.
HOBBY
EMMIP ATAU KEAHLIAN
Dari dulu saya memiliki satu keahlian
yang jarang orang lain tahu selain kelas G sendiri, yaitu jago mengedit
berbagai macam jenis desain seperti desain jersey, baju angkatan, logo, dan
lain-lain.
Selama 3 tahun, Emip selalu yang mengurus
segala urusan per-jersey-an. Lalu untuk tugas video atau pembuatan film, pasti
Emip yang mengedit, mengambil video, sekaligus menjadi sutradara yang mengatur
jalannya cerita film.
Tapi saya cukup enjoy menjalani tugas
seperti ini karena menurut saya sangat menyenangkan dan mampu melatih kemampuan
otak.
Dan inilah beberapa dokumentasi terkait
hobi Emmip yang selama ini ternyata sangat berguna. Semoga ke depannya Emmip
bisa kuliah sesuai dengan passion ini, di kampus yang juga menjadi impian.
Aamiin.
TAK TERASA
Sudah di ujung kelas XI, dan beberapa
bulan lagi kita semua akan menjadi kakak kelas terbesar, yaitu kelas XII.
Kenangan selama kelas XI sangat banyak dan membuatnya terasa spesial. Ada ciri
khas tersendiri dari masa kelas XI ini—entah kenapa saya merasa sangat nyaman,
walaupun sering dihantam berbagai macam masalah. Kenyamanan itu juga muncul
karena guru-gurunya yang enakeun banget, ditambah jadwal mapel yang cocok,
serta semakin dekatnya hubungan dengan semua guru, terutama yang sudah mengajar
sejak kelas X seperti Pa Nychken.
Ada satu momen yang masih sangat saya
ingat: saat itu saya sedang punya masalah yang membuat saya menjadi pendiam
dalam jangka waktu cukup lama, sekitar 1–2 minggu. Dan kalian tahu siapa guru
yang paling peka dan peduli pada saat itu? Iya, benar—Pa Niken. Jujur, saya
sangat terharu ketika beliau begitu memperhatikan siswanya. Terima kasih, Pa
Niken 🥰🙌🏻
Tidak lupa prestasi di akhir
kelas XI keluar sebagai pemegang nilai tertinggi ke 3 satu angkatan ulangan
geografi dengan nilai 92 dan tentunya mempertahankan rangking di kelas.
Last Event XI-G
JOURNEY
TO THE FINAL CHAPTER : GOLDEN ERA
Tibalah saatnya menuju perjalanan
terakhir sebelum memasuki kelas XII. Momen liburan ini terasa sangat spesial
karena begitu banyak kejadian penting yang saya alami. Inilah yang membuat masa
transisi menuju kelas XII terasa berbeda dibandingkan masa kelas X dan XI.
Berawal dari voice note berdurasi 18
detik yang dikirimkan Pa Irfan melalui Andika. Dalam pesan itu, Pa Irfan
menanyakan kesiapan kelas G untuk mengikuti lomba e-sport tingkat kabupaten
pada event HUT KBB. Tanpa ragu, tim Garuda langsung menerima tawaran mendadak
tersebut dengan penuh semangat.
Kebetulan malam itu kami berlima memang
sudah berencana untuk menginap di warung Al di Pines Panglejar. Setelah
menghubungi dan menyampaikan kesiapan kepada Pa Irfan, sore harinya kami
langsung berkumpul untuk registrasi sekaligus latihan bersama.
Entah kenapa malam itu kami terasa sangat
ceria dan bahagia. Padahal sebenarnya kami sudah jarang sekali bermain bersama,
apalagi mabar, karena kesibukan masing-masing. Bahkan rank kami hampir semuanya
masih di Legend—bukti kalau kami memang sudah lama tidak main bareng. Tapi
anehnya, justru malam itu kami sangat percaya diri. Seolah-olah ada perasaan
kuat kalau besok kami bakal menang.
Setelah menghabiskan malam dengan bermain
dan mengobrol, paginya kami pulang ke rumah masing-masing untuk bersiap-siap.
Kami juga pamit kepada orang tua, meminta doa restu sebelum berangkat
bertanding.
Di pagi yang cerah, kami berangkat menuju
KBB untuk mengikuti lomba tersebut. Selama perjalanan, suasananya santai—kami
menikmati perjalanan sambil sesekali membahas strategi permainan.
Singkatnya, kami pun tiba di area stage
pertandingan. Saat itu kami benar-benar takjub, karena untuk pertama kalinya
melihat bagaimana sebuah turnamen profesional sebenarnya dilaksanakan.
Rasa
bangga muncul ketika dipercaya untuk mewakili Kecamatan Cikalong Wetan dalam
lomba ini. Namun, kami semua belum merasa puas—tujuan kami datang ke sini
adalah untuk mendapatkan podium, itulah target sebenarnya.
Dibantu oleh Pak Irfan dan didampingi
oleh A Ramli sebagai perwakilan kecamatan, kami bermain dengan penuh semangat.
Pertandingan pertama pun dimulai, dan
kami berhasil mengalahkan Kecamatan Cihampelas dengan cukup mudah.
Namun pada pertandingan berikutnya kami
harus kalah dari Kecamatan Cipatat. Mungkin karena sedikit demam panggung dan
draft pick yang kurang tepat, kami terpaksa turun ke lower bracket untuk
kembali berjuang
Di lower bracket kami benar-benar
berjuang habis-habisan karena banyak sekali pertandingan yang harus kami lalui.
Alhamdulillah, kami berhasil mengalahkan dua perwakilan dari Saguling.
Pertandingan melawan Saguling A sangat menegangkan—kami hampir kalah. Namun
dengan tekad kuat dan doa orang tua, kami berhasil comeback di menit ke-25.
Keinginan kami untuk menang jelas lebih besar, dan itu yang membuat kami tetap
bertahan sampai akhir.
Pertandingan terakhir di hari itu adalah
melawan perwakilan sekolah dari Cikalong Wetan, yaitu SMK GENUS. Match ini
dilaksanakan setelah salat Dzuhur. Kami semua salat di Masjid Agung KBB,
memohon agar diberi kelancaran dan bisa lolos ke babak semifinal keesokan
harinya.
Jujur, ada sedikit rasa cemas di hati
saya. Sejak dulu saya sering mendengar bahwa GENUS adalah salah satu sekolah
dengan tim esport yang kuat, dan fakta bahwa mereka bisa bertemu dengan kami
membuktikan hal itu. Tapi kami mencoba tetap positif dan percaya pada Allah.
Dan alhamdulillah, sejak proses draft
pick saja sudah terlihat bahwa kami lebih percaya diri. Hero–hero yang kami
pilih jauh lebih solid dibandingkan musuh. Dari situ, kami mulai merasa bahwa
kemenangan ada di depan mata.
Permainan pun berlangsung dengan sangat
lancar. Semua anggota tim bermain kompak, saling mendukung, dan membaca alur
permainan dengan baik. Berkat kekompakan itu, saya bisa bermain lebih leluasa
dan nyaman. Alhamdulillah, pada match tersebut saya berhasil menjadi MVP, dan
momen itu menjadi titik balik sekaligus momentum besar bagi kami untuk meraih
kemenangan.
Dan kami semua pun sangat senang karena
berhasil melaju ke babak semifinal yang dilaksanakan keesokan harinya.
Perjuangan seharian penuh akhirnya terbayar tuntas dengan match penutup yang
sangat manis.
❤️🔥❤️🔥❤️🔥
Dan berakhirlah perjuangan panjang kami
di hari itu. Setelah melewati 5 match yang begitu melelahkan namun penuh
cerita, akhirnya kami bisa menutup hari tersebut dengan rasa lega dan bangga.
NEXT DAY
Seperti biasa, di pagi harinya kami
melakukan hal yang sama seperti sebelumnya: pamit kepada orang tua, berdoa,
lalu berangkat ke KBB bersama Pa Irfan untuk bertanding di semifinal melawan
Kecamatan Cipatat, memperebutkan tiket menuju final upper bracket.
Namun sayangnya, kami harus menelan
kekalahan 2-0 dari Cipatat. Kami mengakui bahwa mereka memang punya potensi
besar, tetapi itu bukan berarti kami lemah. Hanya saja, saat itu tim Garuda
sedang tidak dalam kondisi terbaik—kelelahan, kurang fokus, dan ditambah
kesalahan dalam draft pick karena kurang percaya diri. Semua itu berpengaruh
pada permainan kami yang akhirnya tampil buruk. Jujur, saya kecewa, karena
sebenarnya kami mampu menang. Tetapi namanya juga permainan tim, kami harus
menerima bahwa menang dan kalah itu selalu ditanggung bersama.
Tetapi meskipun kalah, kami tetap merasa
bahagia karena bisa merasakan atmosfer panggung profesional—bermain di atas
stage, disiarkan oleh caster, dan ditonton banyak orang. Itu adalah pengalaman
yang tidak akan pernah kami lupakan, bahkan menjadi salah satu pengalaman
terbaik selama masa SMA.
Dan sampai di sinilah perjalanan Esport
kelas G. Berawal hanya dari teman sekelas yang sering mabar, hingga akhirnya
bisa mewakili kecamatan dan membanggakan nama sekolah di tingkat
kabupaten—semua itu datang dari sebuah game yang sering dianggap negatif oleh
banyak orang. Pada kenyataannya, game justru membawa kami pada pengalaman
besar, kerja sama yang kuat, dan momen yang layak dikenang.
berfoto bersama proplayer liga 2 MDL ID
ANAK
CIKAL : KELAS XII
Tidak terasa sekarang saya sudah berada
di kelas XII. Rasanya senang sekali—liburan yang indah baru saja berlalu, dan
masuk sekolah pun terasa menyenangkan. Yang ada di pikiran saya, kelas XII itu
pasti tidak akan berlangsung lama, seperti yang selalu dikatakan guru-guru.
Awalannya mungkin akan sedikit lebih santai. Dan ternyata benar, minggu-minggu
pertama berjalan cukup ringan, hanya diisi dengan beberapa wejangan dari guru
mengenai alur dan tantangan kelas XII.
Di awal masa sekolah ini juga, kelas G
sempat mengadakan momen kecil tapi menyenangkan: makan bersama di rumah saya.
Suasana itu terasa hangat dan menjadi awal yang baik untuk perjalanan terakhir
kami di SMA.
Hal ini menunjukkan bahwa awal kelas XII
memang sesantai itu dibandingkan dengan saat kami berada di kelas X maupun XI
AGUSTUS AWARDING
CERIA
Di bulan Agustus ini terasa sangat indah.
Pembagian hadiah dari lomba e-sport akhirnya dilaksanakan di KBB dan langsung
diberikan oleh Bupati, yaitu Jeje Ritchie Ismail.
💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙
FOTBAR SAMA SYAHNAZ NIH BOUSS!!!
BANGGAIN
MAMAH KESEKIAN KALINYA..!!!!
DONE SICIKAL JUARAA
MASA PERSIAPAN
Setelah banyak hal manis di bulan
Agustus, kita move on dan melanjutkan kehidupan sebagai Agit yang baik hati dan
tidak sombong tentunya. Walau hanya beberapa bulan, momen di kelas XII semester
pertama ini terasa sangat banyak dan berarti.
Pada awal bulan September, saya sudah
digempur dengan pembuatan KTI dan kabar bahwa TKA akan diadakan. Memang betul,
manusia hanya bisa berencana, tetapi Allah yang menentukan.
Untuk judul KTI sendiri, saya memilih
“Peran Ayah Terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional Siswa SICIKAL.”
Alasan saya mengambil judul ini adalah
karena topik tersebut berkaitan dengan masalah yang saya alami sendiri. Saya
ingin mengetahui apakah ada orang lain yang memiliki pengalaman serupa dengan
saya, serta bagaimana kondisi mereka.
Di sinilah terasa apa yang dimaksud
dengan padatnya kelas XII. Mulai dari KTI, tugas-tugas sekolah lainnya, dan
yang paling membebani tentu saja persiapan TKA. Namun, jujur saja, pada tahap
ini saya masih cukup santai, tidak terlalu panik, dan masih bisa menikmati
masa-masa kelas XII. Saya juga sempat membuat desain baju untuk Ultras Smancik
pada saat itu.
Setelah itu, saya melanjutkan untuk
menyelesaikan bab-bab awal KTI dan mengerjakan tugas-tugas peminatan yang
katanya cukup banyak. Hingga tiba waktunya perpisahan dengan Kepala Sekolah,
yaitu Bu Ntin. Saya memang tidak terlalu dekat dan belum begitu mengenal beliau
secara personal, tetapi terlihat jelas bahwa beliau adalah orang yang aktif dan
ekstrovert. Selain itu, tentu saja, beliau juga tegas, seperti seorang strict
parent ketika menjabat sebagai kepala sekolah.
Walaupun saya sering disebut OSIS
baragajul oleh Azka, lihat nih, saya bisa foto bersama para petinggi
intrakurikuler sekolah. Itu karena saya dibutuhkan, dan jika saya mau dan
berniat, saya juga bisa bersikap profesional seperti mereka.
Waktu terus berjalan, dan tak terasa
sudah memasuki pertengahan menuju akhir September. Berbagai macam kegiatan
pembiasaan baru muncul, termasuk ulah KDM yang menjadi Gubernur Jabar. Jam
masuk sekolah pun terasa sangat pagi, membuat jam tidur saya terpotong. Namun
tidak apa-apa, karena sekarang saya sudah menjadi Agit. MBG ternyata
menyenangkan—sayang sekali saya hanya merasakan setahun, dan itu pun terasa
kurang.
Ehh engga kerasa udah foto buat ijazah lagi
ajaa pasti waktunya tinggal sebentar lagii yah agitt🥹
Kita mendadak lucu lagi gini hehe engga bisa
bohong emang saya walau orangnya suka jai di kelas termasuk yang ngeselin kata
orang tapi saya juga sedih kalo harus pisah sama kalian.
Kami juga sempat menyempatkan bermain
futsal bersama-sama, takutnya nanti masing-masing sibuk dengan urusannya
sendiri.
Setelah itu, saya mendapatkan pengalaman
baru di sekolah, yaitu mengikuti simulasi mengenai bagaimana sistem hukum di
Indonesia berlangsung. Kegiatan ini dipandu oleh Bu Teti, guru sepuh yang
mengajar mata pelajaran PKN. Sungguh luar biasa, di usianya yang sudah senja,
beliau masih semangat mengajar anak-anak. Semoga Bu Teti selalu sehat dan
panjang umur.
Ini juga adalah hari terakhir batik nasional
kelas G lohh sedih banget tahun depan udah engga bisa pake batik bareng bareng
lagi
Semakin terasa intens emosinya, karena
memang saya sudah begitu dekat dengan teman-teman.
Selain itu, saya mulai aktif kembali di
sekolah karena penasaran dan ingin sekali bisa tampil untuk ceramah, serta
mengamalkan ilmu yang saya peroleh dari pesantren. Alhamdulillah, keinginan itu
tercapai pada kegiatan perayaan Maulid Nabi. Semoga almarhum guru saya senang
melihat santrinya bisa mengamalkan ilmunya.
Foto yang sangat berharga: guru-guru
hebat bersama calon-calon penerus bangsa yang sukses di dunia maupun akhirat.
Di minggu-minggu selanjutnya, kelas G
tetap hangat seperti biasanya. Saat pembelajaran PKWU membuat sate, saya merasa
senang bisa menikmati makanan enak sambil belajar bersama teman-teman di kelas.
Beberapa hari setelah itu, ada momen di
mana seluruh kelas XII G dapat berkumpul dan bermain di rumah wali kelas kami,
Bu Lintank. Ya, benar, selama dua tahun kami bersama Bu Lintank, kami sudah
menerima beliau apa adanya. Terima kasih banyak, Bu, sudah mentraktir kelas G
yang rarewog ini untuk makan ini.
PRA
TKA
Di masa persiapan TKA ini, saya sendiri
tidak terlalu banyak belajar karena sudah pasrah dengan apa yang ada. Saya
percaya pada kemampuan diri sendiri dan hanya belajar tipis-tipis untuk materi
yang belum dikuasai. Satu bulan sebelum TKA, pembelajaran di kelas juga
difokuskan pada materi TKA, jadi saya pikir itu sudah cukup.
Seminggu sebelum TKA, saya juga
menyempatkan diri untuk mencari kegiatan lain, yaitu menonton Persib di stadion
sebagai bentuk healing agar pikiran tidak terlalu ruwet. Alhamdulillah,
ternyata suasananya sangat seru. Dari dulu saya selalu menolak diajak ke
stadion, tapi kali ini saya justru merasa tertarik dan nyaman dengan atmosfer
di sana.
TKA
MALAPETAKA
Beberapa minggu sebelum TKA, menurut saya
kebijakan dadakan ini terasa aneh. Tujuannya, masih saya pertanyakan hingga
kini. Jika tujuan utamanya untuk validasi rapor bagi pendaftaran kuliah jalur
undangan, seharusnya pemerintah dapat melihat bagaimana penerapannya untuk
angkatan sekarang. Waktunya sangat singkat, ditambah tugas-tugas lain yang
harus diselesaikan. Apakah adil jika nilai rapor yang disusun berdasarkan
Kurikulum Merdeka—yang mencakup nilai sehari-hari, bukan hanya nilai
ujian—diadu dengan nilai tes dua hari yang pelaksanaannya kacau balau?
Bisa dibilang, kebijakan ini merusak
rencana saya terkait kuliah. Awalnya, saya memilih Matematika tingkat lanjut di
peminatan untuk memenuhi kebutuhan nilai rapor SNBP, tetapi semua itu sirna
ketika TKA muncul. Akhirnya, saya harus membanting setir agar tetap bisa kuliah
melalui jalur SNBP.
Namun, nasib telah menjadi bubur, dan
kebijakan tetaplah kebijakan. Saya sebagai rakyat biasa hanya bisa menerima,
menjalani, dan berdoa.
PASCA TKA MENUJU
PSAS
Setelah TKA selesai, saya dan teman-teman
bisa bernafas lega. Untuk hasilnya, kami serahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Setidaknya, satu tahap telah selesai. Kami semua diberikan waktu seminggu untuk
istirahat dan melanjutkan pengerjaan KTI.
Meskipun hingga saya menulis ini, pukul
03.17 tanggal 28 November 2025, saya masih belum melanjutkan KTI saya, rasanya
tidak masalah. Mengetik ini sambil bernostalgia pun menyenangkan, dan saya
senang bisa sampai di titik ini. Tentu saja, perjalanan ke depannya masih
panjang.
Oh ya, tadi kami baru saja merayakan Hari
Guru, dan ini dia foto terbaru bersama Pa Nychken.
🤍🤍🤍
PESAN
UNTUK EMMIP
Enggak terasa ya, Mip, udah hampir 3
tahun di Smancik. Gimana, apakah Mip masih gamon dengan Fauzy yang ada di SMP
dulu? Semoga sekarang sudah enggak, ya. Lihat teman-teman Mip yang sekarang,
semuanya baik-baik banget, begitu juga guru-gurunya. Apalagi sekolah ini—yang
dulu mungkin enggak disangka-sangka—sekarang menjadi rumah kedua yang nyaman.
Mip boleh kok sesekali kangen masa SMP,
tapi ingat, masa lalu itu untuk dikenang, bukan untuk kembali. Belum tentu
ketika Fauzy lanjut di pesantren akan mendapatkan momen yang seindah ini.
Pokoknya, semangat terus, Mip, jangan sedih. Ceria terus, tetap jadi Mip yang
ngeselin buat teman-temannya.
Sebenarnya, di dalam hati Mip pasti sedih
juga, ya, karena sebentar lagi bakal berpisah dengan teman-teman kelas G. Tapi
selain kelas G, sekarang Mip sudah punya banyak teman, loh. Mungkin tidak
sebanyak saat SMP, tapi sekarang banyak yang menyapa Mip kalau lagi di sekitar
SMAN. 🥹 Sekarang mereka sudah pada kenal Mip.
Sekarang juga, Mip pasti merasa lebih
enak, kan? Teman dan kenalan sudah banyak, jadi lebih nyaman kalau main atau
mampir ke sini.
Sukses terus, Mip! Jadilah orang yang
bisa merangkul banyak orang dan menolong mereka yang membutuhkan. Jadilah
pribadi yang sukses dan berguna, baik di dunia maupun di akhirat, agar bisa
membanggakan orang tua, guru, dan teman-teman. Tetap fokus dan semangat supaya
bisa masuk universitas impian dengan jurusan yang sesuai.

Komentar
Posting Komentar