Charisa Nadiany XII-F
Perjalanan aku masuk Sman 1 CikalongWetan Bahkan sebelum benar-benar menjadi siswa, aku sudah melalui pengalaman yang cukup melelahkan. Awalnya, aku nggak keterima di sekolah itu. Padahal aku daftar lewat jalur zonasi, dan meskipun rumahku tidak dekat sekolah, kami tetap berada dalam satu desa yang sama, yaitu Desa MandalaMukti, tempat sekolah itu berada. Secara logika, harusnya aku tetap masuk zonasi sekolah tersebut.
Ternyata bukan cuma aku. Banyak temanku yang juga tinggal di desa yang sama pun mengalami hal serupa. Padahal kami merasa punya hak untuk diterima karena masih satu desa dengan sekolah itu. Akhirnya, karena merasa tidak adil, kami sekitar 10 orang kurang lebih memutuskan untuk demo ke sekolah bersama orangtua dan kepala desa serta pengurus lainnya. Bukan demo marah-marah, tapi lebih ke meminta kejelasan dan menuntut hak kami sebagai warga desa tempat sekolah itu berdiri.
Kepala desa sampai ikut mendampingi kami, karena masalah ini bukan hanya dialami satu dua orang, tapi hampir satu kelompok. Setelah pembicaraan dan perjuangan yang cukup panjang, akhirnya kami resmi diterima di Sman 1 CikalongWetan.
Setelah dinyatakan diterima, kami mendapatkan julukan sebagai “Anak Smater.” Awalnya kami pikir itu cuma julukan bercanda. Tapi ternyata, “Smater” itu merujuk ke sekolah terbuka sebuah program yang memang masih bagian dari SMA, nilai rapornya sama dengan siswa reguler, tapi tempat belajar nya berbeda.
Jadi, walaupun kami diterima di Smancik, kami tidak ditempatkan belajar satu lokasi dengan siswa reguler Sman 1 CikalongWetan. Anak Smater biasanya ditempatkan di lokasi berbeda, bukan di gedung utama sekolah. Bahkan jadwal belajarnya pun beda “katanya” kami akan belajar hanya dua kali seminggu, bukan seperti siswa SMA reguler pada umumnya.
Tentu saja kami dan orang tua kami tidak terima.
Kami masuk lewat perjuangan, ikut demo supaya bisa sekolah di desa sendiri, tapi ujung-ujungnya malah ditempatkan di sekolah terbuka yang lokasi dan sistemnya berbeda. Padahal yang kami inginkan adalah sekolah normal seperti siswa lain.
Akhirnya, kami kembali komplain ke pihak sekolah. Kami menyampaikan keberatan karena kami ingin sekolah reguler, bukan sekolah terbuka yang terpisah dan jam belajarnya sedikit.
Setelah diskusi panjang, bahkan kabarnya kepala sekolah dan kepala desa sampai membuat perjanjian untuk menyelesaikan masalah ini. Kita dengar-dengar, mereka bicara serius supaya kami tetap bisa sekolah di tempat yang sama dengan siswa reguler, bukan di tempat terpisah seperti program sekolah terbuka biasanya.
Walaupun saat itu masih banyak yang simpang siur, tapi yang jelas perjuangan kami sebagai “Anak Smater” itu memang panjang dan nggak mudah. Dari tidak diterima, demo, diterima tapi ditempatkan di sekolah terbuka, sampai akhirnya harus komplain lagi supaya bisa belajar seperti siswa lainnya.
Setelah semua perjuangan panjang tentang zonasi, demo, status “Anak Smater”, dan berbagai komplain dari kami dan orang tua, akhirnya kami benar-benar diterima belajar di Sman 1 CikalongWetan. sekolah reguler, di tempat yang sama dengan siswa-siswa lain. Berita itu jadi kelegaan besar buat kami semua.
Aku masih ingat momen sebelum resmi masuk sekolah. Kami dan orang tua dipanggil terlebih dahulu untuk datang ke sekolah. Rasanya tegang karena nggak tau apa yang akan diberitahukan. Waktu itu, kami dikumpulkan dan diberi arahan oleh Pak Asep, guru Bahasa Inggris tempatnya di lab Fisika. Beliau menjelaskan aturan, bagaimana proses belajar nanti, dan apa saja yang harus kami persiapkan untuk mulai sekolah dengan normal seperti siswa lainnya. Arahan itu penting banget, karena kami sebelumnya tidak ikut MPLS dan benar-benar belum tahu apa pun tentang sekolah.
Setelah pertemuan itu, akhirnya tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Hari Rabu, untuk pertama kalinya, aku dan teman-teman masuk sekolah sebagai siswa resmi Sman 1 Cikalong Wetan bukan siswa sekolah terbuka, bukan siswa yang terpisah, tapi sama seperti semua anak lainnya.
Begitu melangkah masuk gerbang sekolah, rasanya campur aduk senang, gugup, canggung, tapi juga lega karena semua perjuangan akhirnya terbayar. Walaupun kami masuknya terlambat dan tanpa MPLS, kami akhirnya bisa mulai sekolah di tempat yang seharusnya dari awal.
Hari Rabu itu sebenarnya adalah hari pertama kami resmi mulai sekolah. Tapi karena status kami sebelumnya penuh drama diterima, nggak diterima, jadi anak-anak Semater itu masih ragu-ragu. Beneran masuk nggak? Beneran belajar di sekolah utama atau nggak?
Saking ragunya, banyak dari mereka nggak langsung berangkat ke sekolah. Mereka masih menunggu kepastian. Dan momen itulah yang sampai sekarang masih aku ingat sebagai kejadian yang lucu. Pagi-pagi, aku sama Raisa panik karena takut telat, takut salah, dan takut cuma kita berdua yang dateng. Akhirnya kita telepon satu-satu anak Semater lainnya, nanya: “Jadi masuk nggak? Ayo cepet datang ke sekolah!” Baru setelah dihubungi berkali-kali, mereka akhirnya datang juga. Lucunya, mereka masuk sekolah sambil wajah penuh bingung, kayak: “Beneran ini? Kita bener masuk sini?”
Setelah semuanya kumpul, kami diarahkan ke ruang BK. Di sana, guru-guru membantu menata kami, menjelaskan aturan, dan memastikan kami benar-benar sudah menjadi siswa reguler. Setelah itu, barulah proses pembagian kelas dilakukan. Kelas 10 di Smancik itu banyak banget, dari kelas A sampai kelas L. Jumlah kelasnya besar, jadi anak-anak Semater disebar ke seluruh kelas. Ada yang masuk kelas A, ada yang ditaruh di B, ada yang di C, sampai ada yang ditempatkan ke kelas L. Kami benar-benar tercerai-berai, tidak lagi satu kelompok seperti sebelumnya.
Setelah proses pembagian kelas selesai, aku akhirnya mendapat kelas 10F. Masuk ke kelas 10F ternyata bukan cuma soal memulai kehidupan baru, tapi juga soal ketemu kembali dengan orang-orang dari masa lalu. Di kelas itu, aku langsung menyadari ada beberapa wajah yang familiar.
Pertama, ada Nadia, teman dari MTsN 4 BandungBarat. Kami dulu pernah sekelas, jadi waktu lihat dia di kelas 10F, rasanya sedikit lega karena ada seseorang yang aku kenal. Lalu ada juga Kanaya dan Syifa, masih dari MTsN yang sama, walaupun dulu kami beda kelas. Setidaknya, punya teman yang pernah satu sekolah itu bikin aku nggak merasa sendiri banget. Tapi yang paling bikin aku terkejut adalah saat aku tahu ada Fizia di kelas itu. Fizia itu sahabat SD aku dulunya cukup dekat, tapi karena SMP kami beda, komunikasi kami hilang begitu saja. Jadi waktu aku lihat namanya, rasanya kayak nostalgia datang tiba-tiba. Yang lucunya, sebelum aku masuk kelas, waktu aku masih di ruang BK, Fizia sempat nge-chat aku. Dia nanya: “Kamu bener sekolah di sini? Kamu masuk kelas apa?” Dari cara dia tanya, aku bisa kebayang dia kaget sekaligus senang. Dan ternyata bukan cuma dia, sebelum aku masuk anak-anak kelas 10F itu udah sempat membicarakan aku duluan, kayak:
“Eh katanya ada anak baru yang masuk telat.”
“Siapa tuh? “Namanya siapa? Orang mana?”
Jadi bisa dibilang, sebelum aku melangkah ke kelas, mereka sudah duluan penasaran sama aku. Dan itu bikin momen perkenalanku jadi sedikit lucu, karena tanpa aku sadari, aku sudah jadi bahan obrolan seisi kelas.Pertemuanku dengan Nadia, Kanaya, Syifa dan khususnya Fizia membuat hari pertamaku jadi terasa lebih ringan. Ada orang-orang yang aku kenal, ada yang menyapa duluan, ada yang excited karena kita akhirnya dipertemukan lagi. Dari situ aku mulai merasa kalau kelas 10F mungkin akan jadi tempat penuh cerita buatku.
Hari pertama masuk, aku masih canggung banget karena aku datang lebih telat dari yang lain dan nggak kenal siapa pun. Teman-teman seperti Odong dan Bunga mulai menyapa dan nanya-nanya nama aku duluan supaya aku nggak terlalu kaku.
Waktu itu sebenernya aku punya teman sebangku bernama Lestina, tapi dia nggak masuk saat aku pertama datang, jadi aku duduk sendirian. Baru keesokan harinya Lestina masuk, dan kami mulai saling kenalan meskipun masih agak canggung karena semuanya masih baru buat aku.
Karena belum terlalu dekat sama anak-anak kelas F, setiap istirahat atau jam kosong aku sering keluar kelas buat ketemu Bintang, sahabat aku dari MTS yang sekarang ada di kelas 10L. Dia salah satu alasan aku pengen masuk Smancik, jadi aku lebih banyak habisin waktu bareng dia di awal-awal.
Di tengah masa adaptasi itu, sekolah ngadain MPLS khusus untuk anak Smater karena kami sebelumnya nggak ikut MPLS awal. MPLS-nya cuma sehari dikasih info aturan sekolah, ekskul, dan keliling sebentar. Singkat, tapi itu jadi tanda kalau kami akhirnya resmi dianggap sebagai bagian dari sekolah. Pelan-pelan, setelah itu aku mulai makin dekat sama anak-anak kelas F. Dari yang awalnya asing dan canggung, lama-lama aku mulai nyaman dan merasa punya tempat di kelas.
Setelah aku mulai nyaman dan pelan-pelan akrab sama anak-anak kelas F, ada satu momen yang bikin kedekatan kita makin kuat, yaitu projek P5. Tema projeknya waktu itu sampai ada kegiatan mirip-mirip nikahan-nikahan, dan aku yang jadi pengantinnya. Karena projek P5 harus dikerjakan bareng-bareng, kita jadi sering kumpul, latihan, diskusi, dan bercanda tiap hari. Dari situ, hubungan aku sama teman-teman makin erat dan nggak sekaku dulu. Saking deketnya, kita sampai bikin kelompok pertemanan sendiri yang namanya “Anak Mami.” Anggotanya ada:
Aku, Lestina, Fizia, Tazkia, Dela, Amel, Dewi, Fhatir, Erik, dan Risman. Setiap kumpul bareng, suasananya rame banget—berisik, heboh, tapi seru. Projek P5 yang awalnya cuma tugas sekolah jadi terasa kayak kegiatan bareng keluarga sendiri. Dan sejak itu, aku benar-benar ngerasa punya tempat dan sudah sepenuhnya menyatu sama kelas F.
satu cowok dari kelas 10B yang di belakang aku. Namanya Ghenova. Hubungan aku sama dia itu HTS (hubungan tanpa status) Kita dekat banget, perhatian satu sama lain, dan rasanya kayak pacaran tanpa bilang pacaran. Dan jujur, dia itu cinta pertama aku. Meskipun statusnya nggak jelas, hubungan itu bikin masa kelas 10 aku jadi lebih seru dan berwarna.
Kisah aku sama Ghenova itu unik. Banyak yang mengira kami pacaran karena kedekatan kami udah kayak pasangan, padahal sebenarnya kami nggak pernah jadian, jadi nggak punya tanggal jadian juga. Cerita kami lucu tapi akhirnya hubungan itu kandas di pertengahan semester 2. Selain itu, mungkin karena aku juga punya orang tua yang strict, aku jadi tipe yang gampang baper kalau ada yang perhatian. Itu bikin hubungan HTS itu terasa cukup berarti buat aku, meskipun akhirnya nggak berlanjut.
Singkat cerita, foto-foto itu adalah kumpulan momen selama kelas 10 Semuanya terekam di situ. Pokoknya seru dan ramai banget. Paling kerasa itu waktu PORAK, karena suasananya heboh, kompak, dan jadi salah satu kenangan terbaik di kelas 10.
Masuk kelas 11, lingkaran pertemananku makin mengecil dan akhirnya kami selalu jalan berempat aku, Fizia, Lestina, dan Tazkia. Entah kenapa, tapi chemistry-nya langsung dapet. Kemana-mana selalu bareng, mau istirahat, kerja tugas, atau sekadar nongkrong di kelas selalu 4 orang. Bahkan kalau ada tugas kelompok yang butuh empat orang, kita langsung saling noleh, senyum-senyum, dan otomatis tahu: harus berempat.
Tugasnya itu tentang membuat simulasi acara “nikahan”, mulai dari seserahan, dekorasi sederhana, sampai pembagian job description setiap anggota. Jadi bukan proyek iseng, tapi memang bagian dari mapel kolaborasi. Di foto itu kelihatan semua prosesnya ramai, seru, dan penuh kerja sama. Momen itu juga jadi salah satu kegiatan paling berkesan waktu kelas 11.
Di kelas 11 itu juga ada satu tugas yang paling seru. Singkat cerita, aku terpilih jadi “caleg” gitu, jadi harus kampanye ke kelas-kelas lain. Kayak beneran mau menang pemilihan, aku keliling bawa bingkisan—jajanan pasar, cemilan, pokoknya makanan kecil—buat ngeraih dukungan. Ibaratnya ya nyogok halus biar mereka milih aku, hahaha. Seru banget, soalnya rasanya kayak nyobain dunia politik versi lucu-lucuan.
Selain itu, aku juga masukin satu foto lagi waktu kegiatan Jumat Bersih. Walaupun fotonya keliatan sederhana, tapi itu salah satu momen yang paling berkesan. Kita bener-bener bersihin apa aja—dari cabutin rumput, nyapu halaman, sampai siram-siraman air yang ujung-ujungnya malah jadi heboh sendiri. Jumat Bersih itu selalu seru, karena suasananya rame, ngakak, capek bareng, tapi happy bareng juga.
Terus ada juga momen seru waktu kita olahraga di Mabes. Biasanya kan olahraga di sekolah, tapi kali itu kita jalan bareng-bareng ke Mabes, dan suasananya beda banget lebih rame, lebih hidup, dan lebih seru. Firts time kita foto sama Bu Bayu, sekaligus terakhir kalinya juga kali yaa hehe. Makanya momen itu kerasa spesial banget, soalnya jarang bisa olahraga sambil seru-seruan di luar sekolah, apalagi bareng guru olahraga kesayangan.
Waktu kelas 11F juga ada kegiatan renang yang nggak kalah rame. Kita dipisah jadwal sama anak cowok—cewek duluan, baru cowok setelah kita selesai. Suasananya heboh banget, padahal aku sama Tazkia itu nggak bisa berenang sama sekali. Badan kita kecil berdua, tapi tetep aja kalah sama Lestina yang badannya gemoy, jadi dia paling jago kalau urusan berenang. Aku mah cuma nyebur-nyebur lucu doang, tapi justru itu yang bikin renangnya berkesan dan susah dilupain.
Sampai lupa kalo Masuk kelas 11, kita mulai masuk ke peminatan yang jadwalnya khusus hari Rabu dan Kamis. Sistemnya beda banget sama kelas reguler, karena kita harus pindah kelas sesuai peminatan yang dipilih. Suasananya rame, campur sama anak-anak dari kelas lain, dan dari situ aku juga punya circle baru.
Awalnya, semenjak ada peminatan, aku ngerasa jadi agak renggang sama temen-temen sekelasku Lestina, Fizia, dan Tazkia. Mungkin karena waktunya jadi lebih sedikit, jadi jarang kumpul kayak dulu. Tapi ternyata setelah lewat beberapa waktu, hubungan kita malah balik normal lagi. Bahkan, semakin ada peminatan, justru makin seru dan makin dekat satu sama lain.
Yang paling kerasa itu kedekatan aku sama Tazkia. Semakin hari semakin deket, kayak ke mana-mana selalu berdua. Walaupun di peminatan kita beda kelas, tapi kalau soal sholat, jalan, atau pergi ke mana pun, pasti bareng terus. Aku nyaman sama circle baru di peminatan, tapi hubungan aku sama Tazkia tetap yang paling nempel setiap hari.
Di peminatan juga aku punya pengalaman yang lumayan deg-degan. Suatu hari entah itu hari Senin atau Selasa—itu pertama kalinya aku freestyle mabal. Dari rumah tuh udah berangkat kayak biasa, tapi nggak pernah benar-benar sampai ke sekolah. Aku pikir nggak bakal ketahuan guru sama sekali. Ternyata dugaan aku salah besar.
Besoknya, waktu aku masuk sekolah lagi, aku langsung dipanggil sama salah satu guru peminatan. Wali kelas juga udah tau, dan guru-guru peminatan yang duduk di ruangan itu ada 2 orang. Mereka tanya kenapa aku nggak masuk. Di situ aku akhirnya jujur semuanya—aku bilang kalau aku diem di rumah temen karena hari itu bener-bener males ketemu pelajaran matematika. Jadi iya, aku mabal. Dari kejadian itu, aku dapet pelajaran banget. Malu iya, takut iya, tapi itu yang bikin aku sadar kalau mabal tuh cuma bikin masalah makin panjang. Sejak hari itu aku janji sama diri sendiri: itu pertama dan terakhir kalinya aku mabal.
Di tengah-tengah serunya kelas 11, tubuh aku tiba-tiba drop parah. Kegiatan sekolah lagi padat-padatnya, hampir tiap minggu ada aja yang harus dikerjain, sampai akhirnya aku sakit hampir satu bulan. Badanku bener-bener nggak kuat—demam, lemes, semuanya sakit. Aku bahkan harus dirawat di rumah sakit selama tiga atau empat hari karena kena tipes dan DBD sekaligus.
Masa itu berat banget, bener-bener nguras tenaga, pikiran, dan mental. Rasanya capeknya bukan cuma capek sekolah, tapi capek satu dunia. Tapi dari situ juga aku jadi ngerti kalau tubuhku butuh istirahat, dan ternyata aku sekuat itu bisa ngelewatin semuanya.
Setelah aku sembuh dari sakit panjang itu, aku mulai masuk sekolah lagi. Suatu hari, kita belajar di perpustakaan Waktu itu cuacanya parah banget hujan gede, angin kenceng, bener-bener kayak badai kecil. Aku, Tazkia, Lestina, dan Fizia yang emang nggak bisa diem, malah jadi heboh sendiri. Kita bukan cuma berempat, tapi bareng juga sama Erik, Risman, dan Fhatir. Jadinya kita rame-rame hujan-hujanan bareng tanpa mikir apa-apa.
Lebih lucunya lagi, kita nutupin diri pake samping, padahal jelas-jelas sampingnya ikut basah. Ya otomatis baju kita ikut basah kuyup semua. Tapi meskipun dingin, ribut, itu jadi salah satu momen paling ngakak dan paling nggak terlupakan setelah aku balik dari sakit.
ini foto kita lagi ngadain buka bersama, ya harus nya semua anak’ kelas dateng tapi ya wajarlah susah pada rese semua. Gada kompak nya sama sekali jadi alhasil cuma segini doang yg ngadain bukber nya.
Iya itu icut, aku lagi pakai baju dari bahan bahan bekas loh, ini temen kelas aku yg bikin mereka ngerancang ini semua dari nol tanpa bantuan orangtua, ya meskipun itu itu aja yg ngerjain nya tapi salut sih yg udah bikin. Baju ini dipakai dicara semarak angustusan dan kelas kami salahsatunya pilih ide ini, kalian harus tau kalo ini berat, pegel banget apalagi susah masukin nya. OHHHH IYAAA bayangkan!! aku berjalan menggunakan baju kebanggaan ini mengelilingi sekolah, penggel banget.
Di kelas 11 itu seru banget. Mungkin itu kenangan-kenangan yang nggak akan pernah terlupakan ada tawa, ada suka, ada keseruan bareng temen-temen, ada juga momen-momen konyol yang bikin ngakak terus. Semua waktunya kita jalani bareng-bareng, dari hujan-hujanan, kegiatan peminatan, olahraga, sampai momen-momen belajar dan bikin kita makin dekat. Kelas 11 jadi salah satu masa paling berkesan, karena selain capek, seru, dan deg-degan, di situ juga aku belajar banyak tentang persahabatan, tanggung jawab, dan kedekatan yang tulus sama temen-temen.
Di kelas 12, auranya berbeda karena kami sudah menjadi agit (kelas 3). Waktu pertama masuk, rasanya senang dan bangga, tapi juga pusing karena harus menghadapi KTI, TKA, dan PSAS. Kami tetap melaksanakan upacara seperti biasa, tapi ada kejutan: wali kelas kami sekarang cowok, Pak Rizky, berbeda dengan kelas 10 dan 11 yang wali kelasnya perempuan.
Belajar berjalan seperti biasa, dan pertemanan aku dengan Fizia, Lestina, dan Tazkia semakin erat. Kami selalu kemana-mana bareng, bahkan setiap pagi jajan dulu sebelum masuk kelas. Aku duduk berdua dengan Lestina, sedangkan di depan aku ada Tazkia dan Fizia. Kalau ada hal lucu, mereka langsung menoleh ke kami dan kita ketawa bareng, meskipun ada guru. Kami berempat juga konyol—aku dan Lestina sering ketiduran saat guru menjelaskan, sementara Tazkia dan Fizia memperhatikan, tapi tetap kadang nggak ngerti pelajarannya.
Di kelas 12, banyak kegiatan kelompok. Misalnya, saat pelajaran Bahasa Indonesia, kami membentuk kelompok beranggotakan empat orang: aku, Lestina, Fizia, dan Tazkia. Waktu presentasi, kami jawab spontan meskipun kadang nggak nyambung, tapi seru karena suasananya santai. Kami juga ikut kegiatan udunan untuk investasi kelompok dan berhasil mendapatkan uang tertinggi, padahal cuma anak-anak biasa yang sering bercanda.
Selain itu, di pelajaran PKN kami melakukan simulasi persidangan lengkap dari awal kasus sampai persidangan, sehingga rasanya seperti pengalaman nyata mengikuti sidang. Sedangkan di PKWU, aku dan kelompokku Fizia, Lestina, dan Tazkia—masak bersama, membuat tahu dan es teler, yang kemudian dicicipi oleh beberapa guru. Kegiatan ini seru sekaligus memberi pengalaman baru dalam bekerja sama dan praktik langsung.
Keesokan harinya, saat pelajaran Bahasa Inggris bersama Bu Citra, kami datang terlambat karena main di taman. Di pintu kelas, kami ketawa-ketiwi bingung harus gimana, tapi akhirnya bisa minta izin masuk dan pelajaran berjalan lancar.
Tanggal 17 Agustus, kami mengikuti upacara di lapangan Mabes. Panas dan capek banget, apalagi barisannya nggak se-teratur di sekolah. Tapi pengalaman itu berkesan karena baru pertama kali ikut upacara sebesar itu. Di pinggir-pinggir lapangan, banyak jajanan yang bikin kami nggak tahan, jadi setiap beberapa menit selalu ada waktu buat jajan.
Tanggal 19 Agustus, sekolah mendapatkan MBG untuk pertama kalinya. Awalnya makanannya enak, tapi setelah beberapa minggu rasanya mulai bervariasi. Meski begitu, momen ini tetap berkesan karena menjadi pengalaman pertama kami.
Tanggal 20 Agustus, sekolah merayakan dengan berbagai lomba dan arak-arakan. Kelas kami memilih tema Bajak Laut dan Koboi, sementara aku mendapat peran unik sebagai Malahayati. Kami berkeliling sekolah dan bertemu warga-warga, seru sekaligus melelahkan. Aku juga ikut lomba ular naga, dan serunya, Fizia jatuh karena terlalu serius hingga harus dibawa ke UKS sambil teriak-teriak kesakitan, membuat suasana tambah heboh tapi lucu.
Di kelas 12, selain kegiatan sehari-hari dan persiapan simulasi atau praktik, kami juga menghadapi TKA (Tes Kemampuan Akademik). Satu atau dua minggu sebelum TKA, semua mata pelajaran membahas soal-soal prediksi. Tapi tetap saja, saat hari pelaksanaan, banyak dari soal TKA yang berbeda dari prediksi guru. Kami mengerjakannya di laboratorium komputer dengan aturan yang sangat ketat. Soal TKA terdiri dari 25 soal yang harus diselesaikan dalam waktu kurang dari satu jam. Mata pelajaran seperti MTK terasa menantang karena satu soal bisa menghabiskan waktu sampai 10 menit. Setelah selesai, semua bergantung pada hasil yang ditentukan oleh keputusan di atas, dan pengalaman itu benar-benar menguji kemampuan dan ketenangan kami.
Di kelas 12, sekolah mengadakan Creamolague yang terdiri dari banyak lomba seru, salah satunya adalah lomba Mojang-Jajaka. Teman-teman di kelas memilih aku untuk menjadi Mojang, padahal awalnya aku agak ragu karena tampil di depan banyak orang membuatku deg-degan. Sayangnya, cowok di kelas kami enggan menjadi Jajaka karena takut harus menjawab pertanyaan atau tampil di depan umum, jadi aku harus berpasangan dengan seorang Jajaka dari kelas 11C. Saat babak penyisihan, rasanya jantungku berdegup kencang, tangan berkeringat, dan aku benar-benar gugup. Tapi, kami berhasil lolos ke babak final, membuatku merasa bangga sekaligus lega.
Puncak acara berlangsung pada hari Kamis. Aku memakai baju adat Sunda lengkap dengan makeup full, aksesoris semuanya diperhatikan agar sempurna. Saat berjalan catwalk, aku bisa merasakan sorotan mata banyak orang dari tiga angkatan tertuju padaku. Rasanya campur aduk antara malu, gugup, dan senang. Setiap langkah terasa lambat tapi penuh semangat. Ketika sesi tanya-jawab tiba, pertanyaannya memang cukup mudah, tapi nervous membuatku agak bingung menjawab. Aku mencoba tersenyum dan berpikir cepat agar jawaban terdengar lancar.
Meski kami sudah berusaha maksimal dan tampil sebaik mungkin, juara Mojang-Jajaka akhirnya bukan kami. Lawan-lawan kami memang berat-berat dan penuh persiapan. Walaupun begitu, pengalaman itu menjadi kenangan tak terlupakan; rasanya luar biasa bisa tampil, merasakan adrenalin, dan ikut bagian dalam acara besar bersama teman-teman. Aku belajar banyak tentang keberanian, percaya diri, dan menikmati momen, meskipun hasil akhirnya bukan kemenangan.
Secara keseluruhan, kelas 12 penuh dengan momen seru, tawa, persahabatan, tantangan akademik, dan pengalaman baru. Ada suka, ada capek, tapi semuanya meninggalkan kenangan yang nggak akan terlupakan.















Komentar
Posting Komentar