Tulisan panjang ini hanyalah rangkuman singkat dari tiga tahun hidupku di SMA, sebuah cerita yang tidak seluruhnya bisa ku tuliskan. Banyak hal yang aku simpan sendiri—yang cukup menjadi kenangan dalam hati dan pikiranku. Yang tertulis di bawah ini hanyalah sebagian kecil dari perjalanan yang jauh lebih luas, lebih kompleks, dan lebih penuh warna dari apa yang bisa dijelaskan oleh kata-kata.
“Tidak semua cerita harus diucapkan. Beberapa cukup dibiarkan hidup dalam ingatan.”
Ada masa dalam hidup yang tidak pernah benar-benar hilang, meski sudah lama berlalu. Masa itu menempel seperti aroma hujan yang tinggal di udara: samar, tapi hangat. Bagiku, masa itu bernama SMA—dan semuanya bermula ketika aku melangkahkan kaki ke SMAN 1 Cikalongwetan.
Kelas 10 — Saat Dunia Mulai Membuka Pintu
Hari pertama MPLS adalah hari ketika aku datang membawa satu tekad yang dari luar mungkin terlihat berlebihan, tapi dari dalam terasa sangat wajar: “Aku ingin menjadi ketua OSIS.” Entah dari mana keberanian itu muncul, tapi aku membawanya seperti seseorang yang membawa rahasia besar.
Dan anehnya, semesta seperti mendukung. Aku aktif, aku bersuara, aku ikut semua kegiatan, dan—tidak tahu bagaimana aku justru sering dapat hadiah dari fasilitator. “Dasar bocil semangat,” aku menertawakan diriku sendiri sekarang.
Kelas 10 adalah masa ketika semuanya masih utuh. Sefive Clave masih lengkap seperti puzzle yang belum pernah tersenggol. Kami masih polos, masih hangat, masih mudah tertawa, dan belum sempat mengalami perubahan yang dibawa oleh waktu.
Di kelas 10, aku belajar banyak hal: tentang diri sendiri, tentang ambisi, tentang sekolah, bahkan tentang cinta yang datang terlalu cepat.
Ada satu lelaki yang dulu kupikir bakal mewarnai hidupku. Ternyata benar: ia mewarnai. Sayangnya, bukan seperti gradasi indah, tapi seperti crayon anak kecil yang menekan terlalu keras lalu patah. Mewarnai—tapi meninggalkan bekas.
“Tidak semua yang datang untuk mewarnai akan tinggal sampai akhir.”
Untungnya, di sela-sela kekacauan remaja itu, ada Acip dan Mozza, teman sebangkuku sejak awal. Kami duduk bersama selama tiga tahun penuh, menyaksikan guru keluar-masuk, menyaksikan aku jatuh cinta, patah hati, terbang tinggi, lalu jatuh lagi. Acip tidak pernah pergi; dia hanya ganti ekspresi.
Aku bertemu banyak kakak kelas yang hangat: Teh Ajeng, Teh Rahma, Teh Lulu, Teh Saskia, Teh Dini, Kang Aping, Kang Fadil. Dan di OSIS, aku mulai belajar menjadi sesuatu—atau setidaknya, seseorang yang sedang menuju versi terbaik dirinya.
Kelas 10 seperti kalimat pembuka dalam sebuah buku: ringan, tapi berarti. Indah, tapi belum terlalu dalam.
“Semua yang besar dimulai dari sesuatu yang sederhana.”
Kelas 11 — Tahun yang Menguji, Namun Menyadarkan
Ketika memasuki kelas 11, aku merasa seperti masuk ke halaman kedua buku yang tiba-tiba berubah genre. Yang tadinya komedi ringan, berubah menjadi drama penuh konflik.
Sefive Clave tidak lagi semurni dulu. Pertengkaran muncul, jarak mulai terasa, dan ada hal-hal yang tidak lagi sejalan. Terkadang orang luar melihat kami sebagai kelas riang, padahal di dalamnya kami sedang belajar memahami dunia yang tiba-tiba menjadi lebih rumit.
Hatiku pun mengalami hal yang sama. Lelaki yang sebelumnya mewarnai hidupku berubah menjadi alasan aku belajar kata “down” dalam versi paling nyata. Namun dari situlah aku menemukan sesuatu: meski hatiku pecah, langkahku tidak berhenti.
Aku menjadi fasilitator MPLS. Awalnya menyenangkan, sampai aku mengalami pelecehan verbal dari seseorang—dan itu membuatku berhenti. Saat itu aku belajar bahwa menjaga diri sendiri juga sebuah bentuk keberanian.
Dan di tengah masa paling kacau itu, semesta menyisipkan kejutan kecil: mantan waktu SD muncul kembali.
Aku masih suka menertawakan fakta itu. Dari semua skenario hidup, kenapa harus yang itu? Tapi ternyata dia datang membawa tenang. Bukan sebagai pengganti, tetapi sebagai seseorang yang membuat hidupku terasa tersusun ulang. Yang tadinya berantakan, perlahan rapi. Yang tadinya lelah, perlahan ringan.
Di kelas 11 pula aku menjalani proses panjang menuju pemilihan ketua OSIS. Dan akhirnya, aku terpilih—sesuatu yang dulu aku impikan sejak hari pertama MPLS. Saat itu aku merasa: “Keiza kecil pasti bangga.”
“Mimpi yang dijaga baik-baik akan menemukan jalannya.”
Namun kelas 11 bukan perjalanan yang mulus. Aku mengalami konflik besar, air mata yang terlalu sering jatuh, dan perjuangan yang terasa panjang. Tapi aku melewati semuanya. Karena ternyata, aku lebih kuat dari yang kukira.
“Kadang, kita perlu hancur untuk belajar menyatukan diri.”
Kelas 12 — Rumah Kedua, Luka Kedua, Cinta Kedua
Kelas 12 adalah tahun yang terasa paling singkat, tapi juga paling penuh. Sebagian besar hidupku berada di OSIS. Aku tidak sekadar memimpin; aku hidup di dalamnya.
Di masa itu, aku punya keluarga kedua: Nela, Chilla, Raisya, Annita, Keisya, Moja, Widdya, Sandy, Reno, Namira. Mereka bukan hanya rekan kerja; mereka adalah bahu untuk bersandar, tawa di tengah rapat panjang, dan tangan yang menopang saat dunia terasa berat.
Dan ada satu nama yang tidak bisa tidak disebut: Ayla—Ketua Umum MPK. Kalau OSIS adalah rumah kedua, maka Ayla adalah lampu yang tetap menyala saat aku pulang paling malam. Dialah tempat aku bercerita tentang beban memimpin, tentang tekanan yang kadang tidak terlihat, tentang rasa takut mengecewakan, sampai hal-hal lucu yang kami jadikan jokes internal. Ada kalanya aku tidak butuh solusi; aku hanya butuh Ayla mendengarkan sambil bilang, “Sabar, Kei. Kamu kuat, kok.”
Di samping mereka, ada juga sahabat-sahabatku: Mozza, Acip, Ita, yang sudah seperti halaman tetap dalam buku hidupku. Mereka adalah tempat pulang yang tidak pernah menuntut penjelasan.
Pacarku sekarang juga menjadi bagian penting dari tahun itu. Yang dulu cuma tokoh dari masa kecil, ternyata kembali menjadi tokoh utama di masa remajaku.
Namun kelas 12 tidak semuanya indah. Aku mengalami gosip dari guru—yang pertama bahkan bukan kesalahanku. Yang kedua… baiklah, mungkin aku salah sedikit. Tapi di situ aku belajar bahwa orang dewasa pun kadang lupa bagaimana caranya berkata dengan bijak.
Sefive Clave tidak lagi hangat seperti dulu. Ada hal-hal yang membuat kelas tidak terasa rumah. Tapi mungkin memang begitu cara hidup bekerja: beberapa hal harus berubah agar kita bisa melangkah.
Kelas 12 adalah masa paling berdarah, tapi juga paling bermakna. Luka-luka kecilnya justru membuat aku semakin mengerti siapa diriku.
“Bahagia itu bukan tentang tidak terluka, tetapi tentang tetap berjalan meski terluka.”
Penutup — “Aku yang Baru, Aku yang Tumbuh”
Jika tiga tahun SMA adalah sebuah buku, maka setiap halamannya berisi jejak yang tidak akan pernah bisa aku hapus. Ada suara tawa, ada tangis yang disembunyikan, ada keberanian, ada rasa ragu, ada cinta yang patah, ada cinta yang datang kembali, ada sahabat yang bertahan, ada guru yang menginspirasi, dan ada aku—yang terus mencoba menjadi lebih kuat.
SMA bukan hanya tempatku belajar, tetapi tempatku tumbuh. Tempat aku menemukan ambisi, kehilangan arah, lalu menemukannya lagi. Tempat aku mengenal dunia—dan mengenal diriku sendiri.
Dan kini, ketika aku menengok ke belakang, aku hanya bisa berkata:
“Terima kasih kepada diri yang tidak menyerah, dan kepada waktu yang membawaku sampai sejauh ini.”
"Perjalanan yang jujur tidak selalu indah, tapi selalu berarti.”
– Keiza Deswina Azzahra XII-E



Komentar
Posting Komentar