Langsung ke konten utama

Dari Kekacauan Pendaftaran hingga Panggung Drama: Kisah SMA-ku yang Penuh Kejutan

Dari Kekacauan Pendaftaran hingga Panggung Drama: Kisah SMA-ku yang Penuh Kejutan

Ahooyy-!! Perkenalkan, namaku Imam Maulana, seorang siswa dari SMA Negeri 1 Cikalongwetan yang sedang menapaki perjalanan tiga tahun penuh warna di bangku SMA. Aku bukan seseorang yang hidupnya lurus-lurus saja—justru, setiap langkah yang kuambil hampir selalu ditemani kejutan, drama kecil, kekacauan tidak terduga, tawa yang muncul di waktu-waktu aneh, serta pelajaran hidup yang diam-diam membentuk diriku hari ini.

Aku bukan tipe orang yang selalu berada di pusat keramaian, tapi juga bukan yang benar-benar bersembunyi di sudut kelas. Aku berada di tengah-tengah; cukup aktif, cukup penasaran, dan cukup sering terseret dalam kejadian-kejadian ganjil yang… entah kenapa selalu menemukan jalannya untuk datang kepadaku. Mulai dari urusan administrasi absurd, salah nama di dokumen resmi, pot tanaman yang jatuh tanpa permisi, hingga drama sekolah yang membuatku tidur dengan lem beraroma lilin di tangan—semuanya menjadi bagian dari puzzle hidup yang kemudian kusadari; inilah SMA yang sesungguhnya.

Aku suka mengamati hal-hal kecil yang sering dilewatkan orang lain, terutama dinamika manusia di sekelilingku. Cara teman-teman bereaksi, cara guru mengajar, bagaimana sebuah kelas bisa berubah dari ribut menjadi sunyi hanya karena satu hewan terbang masuk—semuanya bagiku menarik dan lucu untuk dikenang.

Lewat tulisan ini, aku ingin membagikan bagaimana sebenarnya perjalanan SMA-ku berjalan. Bukan versi yang disederhanakan, bukan versi manis yang hanya menampilkan momen indahnya, tetapi versi jujur apa adanya—yang penuh kekacauan, perjuangan, tawa, kesal, dan kejutan di setiap tikungan.

Kalau kamu penasaran bagaimana seorang siswa biasa bisa menghadapi hal-hal yang tidak biasa, maka selamat datang.
Inilah kisahku.

Bermula dari Pendaftaran yang Tidak Sesederhana Kelihatannya

Tidak pernah terpikir sedikit pun bahwa langkah pertama menuju SMA akan dipenuhi dengan masalah administrasi. Saat hari pendaftaran tiba, aku datang dengan penuh semangat sebagai siswa baru yang siap melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya. Namun semua antusiasme itu langsung runtuh ketika petugas sekolah menemukan bahwa namaku di Kartu Keluarga berbeda dengan nama di ijazah SD dan SMP. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Aku hanya bisa berdiri kebingungan sambil memikirkan: “Loh, kok bisa beda? Kenapa baru ketahuan sekarang?”

Petualangan: Bolak-Balik Sekolah dan Dokumen yang Tertukar

Belum sempat memproses kekesalanku atas kesalahan nama itu, tiba-tiba masalah kedua muncul. Saat aku pulang dari sekolah untuk mengurus koreksi nama, mendadak ada telepon yang membuat kepalaku langsung panas: dokumenku tertukar dengan milik orang lain. Yang bikin kesal bukan masalah tertukarnya saja, tetapi karena yang menukar justru adalah operator sekolah—orang yang seharusnya paling teliti dalam urusan dokumen. Dengan rasa capek dan kesal yang bercampur jadi satu, aku langsung turun dari angkot dan kembali menuju sekolah dengan wajah yang pasti sudah menunjukkan ekspresi “tolong jangan buat masalah baru lagi”.

Menunggu Dokumen Baru dan Harapan Segera Masuk SMA

Setelah drama pulang-pergi itu selesai, aku akhirnya bisa pergi ke kantor kecamatan untuk memperbaiki nama di Kartu Keluarga. Prosesnya membutuhkan waktu 2–3 hari, dan aku hanya bisa berharap semoga tidak ada masalah lanjutan lagi. Setelah dokumen baru selesai, aku kembali ke sekolah dan menyerahkannya kepada operator. Rasanya seperti menyelesaikan misi level sulit di game; akhirnya lega, padahal baru mulai masuk SMA saja sudah begitu panjang perjalanannya.

MPLS: Pertama Kali Bertemu Kelas… dan Sudah Ada Pembuat Onar

Masa MPLS seharusnya menjadi momen ceria bagi siswa baru, mengenal lingkungan sekolah, bertemu teman baru, dan beradaptasi. Tapi kenyataan kadang tidak sesuai ekspektasi. Ketika aku masuk ke kelas yang ditetapkan untuk MPLS, aku langsung merasa suasananya… aneh. Ada beberapa murid yang dari awal sudah terlihat “bermasalah”. Bahkan pada hari pertama saja sudah membuat gaduh di kelas, dan aku hanya bisa diam sambil berpikir, “Oh, jadi ini ya kelas baruku? Menarik sekali… dalam cara yang buruk.”

Dua Pembina yang Jadi Pelipur Lara

Namun, di tengah suasana tidak menyenangkan itu, ada dua orang yang benar-benar mengubah atmosfer kelas. Mereka adalah kakak pembina MPLS dari OSIS dan MPK. Keduanya sangat ramah, perhatian, dan selalu memberikan respon yang baik setiap kali kami bertanya. Jika kelas mulai ribut atau ada yang bertindak seenaknya, mereka menegur dengan cara yang sopan namun tegas. Kehadiran mereka membuat masa MPLS terasa lebih manusiawi dan sedikit mengurangi rasa stres yang dari awal sudah menumpuk.

Tugas Membawa Pot Tanaman dan Bencana Mini yang Terjadi

Salah satu hari MPLS meminta kami membawa pot berisi benih. Awalnya aku bingung bagaimana membawanya, jadi aku langsung membeli pot kecil yang sudah lengkap dengan benihnya. Namun kejadian tak menyenangkan tidak berhenti di situ. Setelah sesi senam pagi, kami diminta kembali ke kelas masing-masing untuk membawa pot itu. Dan di situlah tragedi kecil itu terjadi: pot milikku jatuh terkena pot teman lain. Tanahnya berantakan di lantai, sementara aku hanya bisa berdiri sambil merasakan panas di dada. Meski kesal, aku tetap membersihkannya sambil mencoba menahan diri agar tidak meledak.

Hari Terakhir MPLS dan Tes Penempatan Kelas

Pada hari terakhir MPLS, kami semua mengikuti tes untuk menentukan kelas A sampai K. Aku mengerjakan soal dengan sangat serius karena berharap masuk kelas yang aman dari pembuat onar. Aku ingin lingkungan yang membuatku nyaman untuk belajar. Namun hasilnya tidak seperti harapanku. Meski sudah berusaha, aku tetap masuk ke kelas yang ada pembuat onarnya. Yang paling menyakitkan adalah mengetahui bahwa kelas tidak akan di-rolling selama 3 tahun, dari kelas 10 sampai 12. Aku hanya bisa menerima kenyataan, meski dalam hati rasanya seperti dihukum tanpa melakukan kesalahan.

Resmi Menjadi Siswa X-F

Setelah daftar kelas diumumkan, aku resmi masuk ke kelas X-F. Meski ada beberapa orang yang tidak menyenangkan, untungnya ada juga yang mau berteman denganku. Suasana awal masih canggung, tapi lambat laun mulai bisa berbaur. Seperti biasa, perkenalan diri antara guru dan siswa menjadi rutinitas awal yang perlahan membuat kami saling mengenal, meski tidak sepenuhnya dekat.

Sistem Kolaborasi Mata Pelajaran yang Mengejutkan

Sekolahku punya sistem pembelajaran kolaboratif yang menggabungkan mata pelajaran tertentu, seperti:
SIKIMBO (Fisika, Kimia, Biologi)
KOMPAS (Geografi, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi)
PAPABAKTI (PAI, Budi Pekerti, BK, PKN)
SENJA (Seni dan Jasmani)

Konsepnya menarik, tapi ternyata punya kekurangan besar. Saat sedang kolaborasi, materi asli pelajaran berhenti total dan fokus hanya pada proyek kolaborasi. Ini membuat pembelajaran inti tertinggal jauh, dan kami terpaksa belajar mandiri agar tidak blank ketika ujian.

P5: Proyek Besar yang Melelahkan Sekaligus Mendidik

P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) adalah bagian penting di kelas 10 dan 11. Setiap proyek berlangsung sekitar satu bulan dengan tema yang selalu berubah. Meski konsepnya bagus—melatih gotong royong, kreativitas, dan berpikir kritis—ada kekurangan besar: sering terjadi informasi simpang siur antar guru. Satu guru bilang harus buat LKPD, guru lain bilang harus presentasi dulu. Padahal mereka menerima instruksi dari satu sumber. Kami yang jadi murid hanya bisa bingung dan menyesuaikan diri.

Pembuatan Artikel Budaya Sunda: Lembur 3–4 Hari dan “Perusuh Misterius”

Salah satu proyek P5 di kelas 10 meminta kami membuat artikel atau laman web tentang budaya Sunda. Karena artikel bisa diakses semua kelompok, banyak orang iseng menghapus gambar dan teks orang lain. Termasuk pekerjaanku yang hilang berkali-kali. Kesal, tentu saja. Akhirnya pekerjaan itu harus dikerjakan di rumah. Aku sampai begadang selama 3–4 hari, dan setiap aku online, perusuh itu juga masuk. Aku cuma bisa berkata dalam hati, “Wah niat banget orang ini, hahaha…”

Masuk Kelas 11 dan Pemilihan Mata Pelajaran Minat

Saat naik ke kelas 11, ada hal baru: peminatan pelajaran. Kami harus memilih 4 mata pelajaran yang paling diminati dari 9 pilihan. Aku memilih Fisika, Kimia, Biologi, dan Ekonomi. Tapi sayangnya, sistem ini juga punya kekurangan. Jika kuota mata pelajaran tertentu penuh, murid akan otomatis dipindah ke minat lain—even jika itu bukan minatnya. Sungguh sistem yang bisa membuat orang patah hati hanya dalam hitungan detik.

P5 Tema Pemilu: Drama Antar Kelas dan Perpecahan Mini

Pada salah satu P5 kelas 11, temanya adalah Pemilu. Tiap kelas membuat partai masing-masing dan berkoalisi dengan dua kelas lain. Yang terjadi? Drama besar.

Koalisi diperebutkan, debat antar kelas terjadi, dan semua ingin menjadi pemimpin. Saat menentukan Capres dan Cawapres, tiga kelas dalam satu koalisi saling berebut agar kandidat dari kelas mereka yang menang. Proses voting panjang terjadi, lalu ketika salah satu kelas tidak terpilih, muncul “kebencian halus” antar kelas. Rasanya seperti simulasi DPR dalam versi SMA.

Drama Roro Jonggrang dan Pengorbanan Kesehatan

Memasuki akhir kelas 11, guru Bahasa Indonesia memberikan tugas besar kepada seluruh kelas: membuat sebuah drama singkat dengan pembagian kelompok yang berbeda-beda. Kelompokku memilih legenda Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, dan aku kebagian peran yang cukup berat—membuat properti utama berupa candi Prambanan dan Candi Cetho. Selama lebih dari satu minggu, setiap hari aku bekerja hingga larut, berkutat dengan kardus, cat, dan lem lilin. Asapnya begitu kuat hingga akhirnya aku jatuh sakit: demam, batuk, dan pilek yang berlangsung hampir sebulan penuh.

Pada hari H penampilan, meski tubuh masih belum pulih, aku bangun sekitar pukul 05.00 pagi untuk membawa seluruh candi ke sekolah. Panas terik pagi itu membuat semuanya terasa jauh lebih berat. Namun selain aku, semua anggota kelompok sebenarnya sama-sama berjuang keras. Ada yang harus menghapal dialog panjang, ada yang perlu melatih ekspresi dan timing masuk panggung, ada yang sibuk menata properti, hingga ada yang harus memastikan alur cerita berjalan tanpa salah satu adegan pun terlewat. Kami semua berada dalam tekanan yang sama, dan rasanya seperti mengerjakan produksi teater profesional versi sekolah.

Namun ada kejadian lucu sekaligus menyebalkan. Saat tampil, pemain jin yang bertugas menyusun candi justru memasangnya terbalik—bagian depan malah menghadap ke belakang yang catnya belum maksimal karena keterbatasan dana. Aku hanya bisa terdiam sambil menahan tawa pahit. Mau marah pun percuma; semuanya sudah terjadi, dan drama harus terus berjalan. Pada akhirnya, meski penuh kekacauan kecil, kami berhasil tampil dan menyelesaikan drama tersebut dengan bangga dan lega.

Kelas 12: Tahun Akhir yang Penuh Tantangan

Saat masuk kelas 12, kelas tidak berubah. Masih bersama orang-orang yang sama sejak kelas 10. Tidak ada rolling, tidak ada perubahan suasana.

KTI: Penelitian Besar yang Harus Dipaksa Gugur

Aku memulai tahun terakhir dengan semangat untuk membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI). Bahkan aku sudah mengumpulkan 150 responden, dan data itu akan dipakai untuk mengevaluasi kebijakan sekolah secara mendalam. Namun tiba-tiba, dengan alasan tertentu, penelitianku harus dihentikan dan diganti topik lain. Rasanya benar-benar kecewa karena semua usaha itu hilang begitu saja.

Drama Kelas dan Hewan Terbang yang Membuat Kacau

Suatu hari, kelas sedang sangat tenang. Tak ada ribut, semua fokus belajar. Tiba-tiba, seekor hewan terbang—entah burung atau tawon—masuk lewat jendela. Salah satu temanku panik luar biasa. Ia mengambil sapu dan berniat mengusir hewan itu. Tapi karena terlalu gugup, sapunya malah mengenai jendela geser, dan jendelanya jatuh ke dalam kelas. Untung jatuhnya ke dalam, bukan keluar yang bisa membahayakan orang lewat. Satu kelas langsung heboh, antara panik dan tertawa.

Penutup: SMA yang Penuh Warna dan Tidak Akan Terulang

Perjalananku selama tiga tahun di SMA Negeri 1 Cikalongwetan penuh sekali dengan drama, tawa, kejengkelan, perjuangan, dan pembelajaran. Dari masalah administrasi hingga pot jatuh, dari drama P5 hingga penelitian KTI yang gagal, dari proyek drama hingga hewan terbang yang membuat kelas panik—semuanya membentuk kisah yang tidak akan pernah aku lupakan.

SMA mungkin tidak selalu indah, tapi setiap detiknya memberi pengalaman yang membentuk diriku menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih tahan banting, dan lebih memahami bahwa setiap perjalanan hidup tidak pernah berjalan mulus, namun selalu penuh makna.















Komentar

Postingan populer dari blog ini

THE IMPACT OF BOTTLE RECYCLING

  By Rizka, Sulis, Dela, Robi, Salman, Haikal Waste is the remaining product or item that is no longer used. There are 3 ways or methods to manage waste namely reducing, reusing and recycling plastic here will discuss about recycling the plastic bottle waste, recycling plastic bottle is very beneficial and has many positive impacts. Although some students actively participate in this practice, there are still many students who  cannot or refuse to recycle plastic bottles. The following is the impacts of recycling of bottle waste for our life From our interviews and research, several positive and negative impacts of recycling plastic bottle waste have been identified, such as air pollution, where certain methods of recycling plastic bottles can harm air quality. Recycling bottle waste can impact the quality of the product itself. Poor and inadequate management during production stages can result in low-quality products. Recycling plastic bottle waste also leads to an increase i...

Story at School

 Rika Dimas Fitria  XII.i B.Indonesia Story at School Kelas X  Pada suatu hari,,saya telah lulus MTs sampai orang tua meneruskan saya ke Sekolah SMAN 1 Cikalongwetan ini,lalu saya daftar ke SMAN 1 Cikalongwetan bersama kakak dari pagi sampai jelang malam,sampai menunggu pengumuman diterima atau tidaknya,sampailah Alhamdulillah saya diterima disekolah ini.Lalu salah satu teman sosmed menghubungi saya bahwa kita sekelas,dia bernama Shifa Sulastri.karena sekolah ini pada era covid kita sekolah dibagi sesi pertama dan kedua lalu saya sesi dua sampai bertemu pada pertemuan sekolah saya bertemu dengan Shifa langsung,tidak hanya Shifa bahwa saya juga sekelas dengan temen SD saya yaitu Siti Sopiah,sampai pada hari-hari berikutnya saya berkenalan dengan teman yang lainnya seperti N.Sani,Suci dan yang lainnya.Lalu wali kelas X kita adalah ibu Amila sholihah lalu saya mengerjakan tugas sebagian BDR dan diadakannya projek Pertama yang berjudul KTI (karya tulis Imiyah) dan disatukan k...

CERITA YANG TIDAK AKAN BERAKHIR

Saskia Agustin Masa corona akhirnya berakhir, semua yang berada di rumah akhirnya kembali menjalani kehidupan seperti semula walaupun masih identik dengan pemakaian masker yang wajib dipakai apabila akan keluar rumah. Seperti halnya denganku, saskia. Mulai kembali menjadi siswi yang berangkat pagi untuk ke sekolah, yang juga seperti itu. Pembelajaran di sekolah masih belum efektif ternyata, jadi para guru memberikan alternatif agar bisa melakukan kegiatan pembelajaran di sekolah dengan menerapkan sistem yang dikelas para murid dibagi 2 atau dengan sebutan sesi a dan b.  Belum begitu banyak mengenal siapa saja yang ada di kelas hanya satu, siti. Unik memang ketika Aku menyangka kalau Siti itu orangnya memiliki badan yang tinggi hahah. Alurnya singkat sampai tanpa tidak sadar kalau kita sudah begitu dekat tapi bukan hanya siti ada satu orang lagi yang sampai sekarang dekat denganku dia Rahma, orang ketika mendengar namanya pasti akan langsung bilang " anu pinter tea", asli mema...