Hai, perkenalkan. Nama aku Fauzi, atau biasanya orang memanggilku Uzi. Aku adalah siswa kelas 12E SMAN 1 Cikalong Wetan. Hari ini aku ingin menuliskan perjalanan masa SMA-ku. Sebuah kisah yang dimulai tanpa keinginan, namun perlahan berubah menjadi cerita berharga yang tak ingin kulupakan.
Sejujurnya, aku tidak pernah memilih SMAN sebagai tujuan. Itu permintaan orang tua dan aku terpaksa mennurutinya. Awalnya aku pikir semuanya akan terasa biasa saja, tapi nyatanya..
Layaknya murid baru, semester pertama terasa penuh adaptasi. Lingkungan baru, teman baru, suasana baru. Semuanya membuatku lumayan kesulitan berbaur.
Dan dalam masa adaptasiku, sebuah kejadian membuatku semakin menyesal sekolah disini.
Kasus kehilangan uang kelas.
Aku dituduh sebagai pelakunya.
Meski aku tahu aku tidak melakukannya, tapi siapa yang tidak sakit hati kalau dituduh mencuri? Namun waktu berjalan, dan kebenaran akhirnya terungkap. Tuduhan itu hilang, dan aku bisa bernapas lega.
Akhir semester satu, tanpa rencana, aku bergabung dengan marching band (MB). Di sanalah aku bertemu orang-orang baru: Galuh, Aldy, Hasan, Ata, Bilal, dan lainnya. Mereka kakak kelas, tapi rasanya seperti sudah berteman sejak lama. Semuanya dimulai karena Hasan menyeretku masuk ke ekstrakurikuler MB. Dan sejak itu aku punya lingkungan baru yang membuat hari-hariku menjadi lebih hidup.
Semester dua berjalan seperti biasa. Bedanya, aku mulai jarang berada di kelas saat istirahat. Bukan karena gak punya teman, tapi justru karena teman-temanku ada di kelas 11A.
Kelas hanyalah tempat belajar. Tempat aku benar-benar merasa menjadi diri sendiri justru ada di luar kelas.
Di kelas 11 semester satu hingga dua, hidupku berjalan normal. Tidak ada hal yang besar. Hanya rutinitas biasa seperti belajar, makan, tidur di kelas, sholat, pulang sekolah, dan latihan MB.
Sampai akhirnya…
Masa kelas 12 datang.
Dan dengan itu, datang pula cerita yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Aku mulai dekat dengan Agni, teman sekelasku.
Sejak awal MPLS, aku sudah memperhatikannya. Tapi dia terlihat cuek, jual mahal, dan sulit didekati. Aku pikir peluang untuk mendekatinya itu cuma ilusi.
Kedekatan kami bermula ketika ia bergabung dengan marching band.
Awalnya hanya candaan kecil, ngobrol ringan, atau sekadar ajakan beli jajan. Tapi dari hal kecil itu, jarak kami perlahan menyempit.
Suatu hari setelah ekstrakurikuler selesai, entah dari mana datangnya keberanian, aku memintanya bicara berdua. Dia sempat menolak karena katanya takut. Tapi akhirnya dia datang juga.
Aku menyatakan perasaanku. Dan seperti dugaan, aku ditolak. Bukan langsung di depan wajahku, tapi lewat chat. Tetap saja rasanya pahit.
Tapi anehnya, penolakan itu malah membuatku semakin yakin untuk memperjuangkannya. Dua hari setelah itu, dia chat lagi, topiknya cuma nanya soal ikan. Dari situ kami semakin sering ngobrol, telponan, cerita hal-hal random sampai larut malam.
Aku mencoba lagi.
Dan kedua kalinya… dia masih menolak.
Namun semakin banyak waktu kami habiskan bersama, semakin jelas bahwa penolakan itu bukan karena tidak ada rasa. Hanya karena dia masih belum siap.
Agustus datang bersamaan dengan HUT RI. Marching band latihan intensif, dan banyak momen kecil yang terjadi antara Aku dan Agni.
Kita latihan bareng, foto bareng, ketawa bareng, dan terkadang curi-curi waktu hanya untuk sekadar berbincang sebentar.
Di hari H, sebelum upacara dan pertunjukan dimulai, wali kelas meminta kami foto bersama dengannya. Rasanya canggung, tapi lucu. Kami masih belum berstatus apa-apa, tapi semua orang bisa melihat ada yang berbeda di antara aku dan dia.
Lalu datanglah hari itu, tanggal 2 September.
Sore yang berjalan seperti biasanya. Aku dan Agni sempat berbincang sambil makan ice cream. Di tempat yang sederhana, gang depan Koramil, sambil menunggu angkot lewat.Tempat sesederhana itu menjadi saksi sesuatu yang besar dalam hidupku.
Dengan keberanian yang sama seperti percobaan pertama, aku kembali menyatakan cinta.
Jantungku berdebar begitu kencang sampai aku sulit bicara. Dia tersenyum.
Lalu dia berkata:
> “Harus aku jawab iya atau enggak?”
Aku bahkan tidak bisa menjawab karena terlalu senang.
Dan akhirnya, dengan suara pelan tapi jelas, dia berkata:
> “Iya. Aku mau.”
Lucu, awkward, tetapi penuh bahagia.
Dan dari hari itu, kami menjalani semuanya bersama.
Tentu, tidak semuanya mulus. Kadang ada konflik kecil, kadang ada salah paham… tapi komunikasi membuat kami tetap kuat.
Semoga cerita ini terus berjalan.
Semoga langkah ini berakhir di pelaminan.
Aamiin.
---
Penutup
Itulah kisah SMA-ku: dimulai dengan paksaan, penuh perjuangan, diwarnai tawa, tuduhan, pertemanan, marching band, dan… cinta.
Terima kasih sudah mau membaca cerita ini.
Semoga suatu hari nanti, ketika aku membuka tulisan ini lagi—aku membacanya bersama seseorang yang kini kusebut… pasangan halal.








Komentar
Posting Komentar